Try to search for The Things?

June 30, 2011

Sepeda Onthel and Its Tragedy

Waktu itu tahun 2005-an aku memang berniat serius buat belajar naek motor. Meskipun, aku dihina dina oleh sepupu-sepupuku yang lain, karena menurut mereka umurku sudah uzur untuk latihan naek motor. Tapi toh akhirnya mereka (para sepupuku yang walapun lelaki tapi cerewetnya aih..melebihi cerewetnya emak-emak) mendukungku dalam misi menaklukkan Yamaha Vega R merah. Mari kita ikuti alur ceritanya.

Title : Kemplengan on mission (bhs jawa: bonceng tiga)
Venue : NotoHadinegoro Airport, Jember


Pagi itu kami berangkat dari rumah kakek menuju bandara, You know lah landasan bandara di Jember ini masih baru dan belum beroperasi benar, jadi lahannya yagn luas bisa multifungsi. Disanalah aku akan belajar motoran. Karena ternyata my sister juga ikut-ikutan ingin melihat aksi perdanaku dalam misi ini, akhirnya kami berangkat satu motor bonceng tiga.

June 26, 2011

Ayah dan 3 Kalimatnya


Banyak lagu yang menggambarkan sosok ayah, selain sosok ibu yang sudah lebih dulu mendapat ‘tempat’ di hati pendengar musik. Saya tidak begitu suka mendengar lagu mellowdramatic tentang sosok seorang Ayah. Entah kurang sreg dengan lirik atau apa. Hanya saja saya kurang setuju jika lagu tentang ayah didasarkan alasan karena sosok Ibu bisa digambarkan lewat lagu, mengapa ayah tidak?. Menurut saya, tanpa dilagukan, sosok ayah ya tetap ayah, yang kuat, tak mellow, dan memimpin seluruh anggota keluarga dengan kebijaksanaannya.

Kali ini saya ingin bercerita tentang Ayah saya. Ayah saya tak pernah marah, tak pernah menegur dengan ucapan atau tindakan. Kalau disebut pendiam tidak juga, lebih mendekati sosok yang tenang, dan tidak banyak bicara selagi tak penting. Ia jarang bercakap-cakap dengan kami untuk urusan personal. Dan itu kami maklumi, ia juga meyakini kami sebagai putra-putrinya sudah mengerti bagaimana berkelakuan dan bersikap sesuai kehendaknya. Ia memberi kebebasan-yang-bertanggung jawab kepada kami. Saat itu, saya menerimanya karena semata-mata kebiasaan, bukan kesadaran.

Hingga kejadian yang saya sebut sebagai pelajaran berharga bagi saya, dan merubah arah karena terbiasa saya pada Ayah  menjadi penuh dengan kesadaran. Tujuh tahun lalu ketika saya masih unyu (polos, lugu lebih tepatnya), dan baru saja lulus dari sekolah menengah pertama dengan hasil lumayan (standar saja maksud saya). Sudah kebiasaan di keluarga kami, jika selepas MTs (setingkat SMP), kami harus keluar dari rumah, untuk melanjutkan sekolah di luar daerah kami.

Kakak saya yang menganjurkan untuk mendaftar di sebuah sekolah negeri di Malang, dan saya hanya manggut-manggut. Kebetulan sekolah tersebut juga menyediakan fasilitas asrama yang sistemnya mirip pesantren Gontor, cuma bedanya karena dikelola sekolah, jadi agak lebih moderat, dan mengikuti kultur sekolah.

Saya berhasil masuk ke jurusan agama (and badly to say it was not like i wanted at that time). Saya berkeinginan untuk masuk jurusan umum saja, yang tak perlu bersusah-payah belajar bahasa arab-inggris. FYI, all the matters in this department need people with more ability of foreign language specification. Especially text book in every subject printed in Arabic, and totally to say i was suck to eat them suddenly. It was just my first time lived out of my family. Yes I said it was shocking me badly.

Alhasil, bulan pertama di asrama saya lalui dengan tak bersemangat, begitupula di kelas. Tiap pagi, bergegas ke wartel, saya menelepon orang rumah hanya untuk menyampaikan keluhan-keluhan saya yang cenderung menyesalkan kenapa harus masuk kelas ini. Betapa tak nyamannya tinggal di asrama yang memiliki aturan ketat berbahasa asing 24hours nonstop. Betapa pusingnya saya harus masuk kelas dan mengikuti pelajaran dengan pengantar bahasa Arab dan buku-buku cetak berbahasa arab juga. Sampai saya memutuskan untuk memberitahukan ayah bahwa saya ingin pindah jurusan saja, kalau tidak, saya pindah sekolah saja. See? Betapa saya sangat membebani ayah dengan keputusan yang mirip ultimatum ini.

Ayah hanya bertanya kepada kakak-kakak saya “kenapa adikmu ini kok gak krasan?”. Hari itu juga, ayah bergegas ke Malang untuk menemui anak bontotnya ini. Dan saya gembira luar-biasa, karena sedikit lagi saya akan pindah dari kelas yang membuat saya tertekan ini. Tapi kondisi berkata lain, sekolah tidak bisa memindahjurusan dengan begitu cepat, pun jika harus keluar, menunggu untuk akhir semester. Ayah saya tak sempat beristirahat, tiba di Malang jam 3 sore, bertemu dengan Bpk Kepala Sekolah, kemudian ia memulai perbincangan dengan saya di masjid sekolah selepas sholat maghrib. Disitu, di teras masjid kemudian beliau menasehati saya.

“Nduk, dicoba dulu. Apapun yang belum dicoba pasti akan kelihatan sulit.”

Saya terdiam sesaat, kalimat Ayah ibarat tegukan air dingin untuk tenggorokanku yang mulai tercekat. Ada perasaan melunak seketika itu juga. Tiba-tiba saya sadar, setelah bahkan seminggu2 sebelumnya nasehat yang sudah saya dapat dari kakak atau Ibu mental dengan sukses, saya dengan keras kepala masih bersikukuh untuk tak lagi bertemu dengan buku-buku berteks arab itu. Dan detik itu juga, hanya ucapan ayah yang singkat, padat, jelas cukup membuat saya tenang.

“Kalau ndak krasan, ya nanti setelah semesteran, bisa pindah.”

Kembali kalimat tambahan Ayah ini malah membuat saya terisak. Betapa saya terlalu memaksakan kehendak, betapa saya merepotkan ayah, ibu dan kakak2 saya dengan acara ‘gak krasan’ saya yang kelihatan sekali kekanak-kanakannya. Kenapa saya tidak membuka diri untuk menerima hal-hal baru yang belum saya ketahui sebelumnya.

“Wis ya Nduk, tak wangsul ndisek. Mundak kebengen nduduk omah.”
(Sudah ya nak, Ayah pulang dulu, takut kemalaman sampai rumah)

Seketika itu juga, luruhlah semua keegoisan saya. Betapa 3 kalimat tersebut mampu membuat hati saya terbuka, membuat saya harus kuat dan tak lagi cengeng. Setelah salim dan berpamitan dengan ayah, ia mengambil mikrolet LG (Landungsari-Arjosari) di jalan depan masjid. Hingga ia masuk dan mikrolet itu membawanya berlalu dari hadapan saya, kaku tak beranjak kemana-mana kaki ini terasa. 6jam kira-kira perjalanan Malang ke rumah saya. Dan ayah melakukan perjalanan pulang-pergi itu untuk saya.

Semester pertama, saya menghadiahi beliau dengan nilai-nilai raport yang nyaris tak bisa dipercaya, tidak ada angka 6 teman!, saya masuk ranking 3 besar. Saya melahap buku-buku berteks Arab itu dengan excited. Seakan-akan ini adalah tantangan (begitu pikir saya waktu itu). Lalu beberapa prestasi non-akademik tingkat provinsi pun sempat saya raih di sekolah ini. Semua saya jalani tanpa paksaan, melainkan karena kesadaran taat saya kepada orangtua. Dan kesadaran itu bersumbu dari 3 kalimat ayah saat itu. Ah, ayah..saya menulis ini dengan ‘rasa rindu’ kepadamu. Semoga ayah diberi kesehatan disana.


We Love You Dad!


June 21, 2011

Fakta?

Saya selalu bingung kalau disuruh nulis sesuai tema, rasanya sebingung orang yang harus disuruh maju ngapalin Dasa Dharma Pramuka pas upacara. Meskipun hafal di butir awal, dijamin pas tengah-tengah blank dan mulai ngelantur. Karena 10 butir kalimat itu susah sekali dihafal dalam kapasitas memori otak saya yang terbatas. Sebagaimana tulisan, 10 angka merupakan rangkaian rumit nan panjang untuk menjadi tulisan yang lengkap dan layak dibaca.

Hobi ngelantur saya selalu terbukti sukses dan terjadi alamiah kalau saya disuruh menulis dengan tema “A” atau tema “B” atau tema “ABCD”. Maunya saya nulis, ya nulis sesuai yang keluar dari pikiran saya, tidak perlu memikirkan bagaimana tulisan ini akan berprolog dan berepilog, bagaimana tulisan ini akan dibaca orang dan sesuai dengan tema, bagaimana tulisan ini mengantarkan pembaca tidak bingung hingga ke titik akhir bacaan dsb dsb. Tapi seegoisnya saya menulis, kalau dipikir-dipikir, jika memang mau menulis yang model sesuka saya, dan tidak ditakdirkan untuk dibaca orang lain, saya bisa menulisnya tanpa dipublish (apalagi di blog semacam ini). Akhirnya saya mengalah dengan ego aneh saya tentang menulis. Konklusinya: saya harus banyak belajar menulis dengan tema. #c.a.k.e.p! Yukyak yuuuk..

June 07, 2011

Side Effect


Karena kita tahu ada side effect dari apa yang kita lakukan sebelumnya.


Seperti kata Herman Melville: We can not live only for ourselves. A thousand fibers connect us with our fellow-men; along those fibers, as sympathetic threads, our actions run as causes, and they come back to us as effects.


Adakah diantara kita merasa jengah dengan penisbatan Lady Gaga yang oleh publik disebut-sebut seorang fashion icon jaman sekarang? Jawabannya adalah saya salah satunya. Saya sempat merasa keanehan-keanehan yang diciptakan oleh Lady gaga seolah-olah dipaksakan. Terkadang saya justru memikirkan dimana letak kenyamanannya jika ia harus memakai gaun dari daging mentah, sepatu dengan hak tinggi yang menyerupai bentuk kelamin laki-laki, hingga ia terjatuh/keseleo dengan sepatu yang mirip engrangnya sewaktu keluar dari Bandara (and catched by paparazzi). Berasa kasihan aja betapa tersiksanya ketidaknormalan untuk disebut sebagai 'fashion icon', but if she's okay and being comfort with outfit and wardrobe she wears, totally not problems with that.

I mean ketidaksukaan saya ini akan digiring ke pertanyaan "so what if u don't like and hating her?" "does it take any benefit for you?" or "did you ever see in a glance another theme than hating her?". Well, kita tidak tahu kan kalau salah satu dari 7 gaun yang dipakai Lady gaga untuk pemotretan Herper's Bazaar magazine juga dirancang oleh seorang anak muda dari Jakarta?. Nama anak muda dari Pluit itu adalah Tex Saverio, asli Jakarta. Usianya masih 27 tahun. Dulu dia sempat sekolah di SMA 1 BPK Penabur, salah satu sekolah bonafide di Jakarta. Tapi dia harus keluar dari SMA tersebut karena memang minatnya justru lebih besar di dunia fashion. Lalu dia mengakomodir passion nya tersebut ke Bunka School of Fashion. Seorang anak muda biasa yang sekarang sejajar dengan Alexander McQueen, Thiery Mugler, Versace, Dior, Francesco Scognamiglio. Dia dinilai sejajar karena karyanya yang dibuat segenap jiwa.

See? Side effect-nya mungkin agak terlalu jauh, tapi mampu menjawab apa yang akan kita lakukan dengan kebencian kita terhadap sesuatu. Gak suka bolehlah..wajar, hak-hak kita kok, gak suka aja udah cukup kok daripada benci. Apa deh efek benci kita yang berkelanjutan? Buat kita gak membuka diri dengan hal-hal lain yang baru. Karena kita sudah antipati dan judging berlebihan terlebih dahulu.

Mungkin diantara kita pernah memaki-maki kesal atau bersikap menyayangkan kepada semua pembuat kebijakan atas diberhentikannya film-film impor dari rumah produksi yang tergabung di MPAA (Motion Picture Assosiation οf America atau Asosiasi produser film Amerika). Hey, saya juga salah satunya dari sekumpulan orang yang memaki-maki kesal tersebut! Saya terus terobsesi dengan ego saya bahwa sesuatu yg saya inginkan harus dipenuhi, tanpa melihat ada seseorang yang juga boleh kita beri kesempatan senada. Bisa jadi, dengan hadirnya film2 Thailand, Korea, India dan dari negeri2 Asia yg lain, kita seperti melepas ketergantungan dengan negeri adidaya, negeri uncle Sam tersebut. Oke saya tahu film2 barat memang bagus dan layak ditonton. Siapa sih yang bakal menolak tontonan apik semacam Fast Five, Pirates of the Caribbean on Stranger Tides, The Hangover: Part II, Kung Fu Panda 2, Thor, Green Lantern, X-Men: First Class, Mission: Impossible – Ghost Protocol, Transformers Dark of the Moon dan Harry the Deathly Hallow: Part 2. Bahkan saya juga penikmat film2 barat dengan efek2 dramatis teknologi yang memang belum mampu negara kita bikin.

Awalnya saya juga tak terima (nangis2 semalaman, jeduk2in pala di tembok, jambak2 rambut sendiri, lebay deh Kim!), ketika kenikmatan tersebut seperti diambil paksa dari kehidupan normal saya. Bahkan saya pikir, terasa naif sekali jika kemudian film-film impor diberhentikan, karena jelas pemasukan Ditjen Bea Cukai/Ditjen Pajak/Pemda/Pemkot/Pemkab akan kehilangan pendapatannya sepersekian persen, atas bea masuk barang sekian persen. Bahkan menjamurnya bioskop di berbagai daerah akan kena imbasnya juga, korelasinya seperti ini: animo penonton surut, pendapatan asli daerah juga menyusut. Tapi saya yakin pajak yang seharusnya MPAA bayar dari tiap-tiap film yang masuk ke negara kita jika ditotal akan banyak dan berlipat2 juga. Tapi ah..sok tahu banget kayaknya kalimat saya sebelumnya.

Okelah terlepas dari rantai simbiosis itu semua, saya berbaik sangka bahwa masalah ini akan selesai dan ditangani dengan baik oleh pihak-pihak yang berkepentingan. Dan benar kan, ada semacam angin segar untuk film-film dari MPAA bakal bisa kita nikmati lagi. Baru-baru ini Kemenkeu sudah berbaik hati 'akan' mengatur SK untuk perpajakan film impor. Kenapa lama banget? karena film impor mencirikan barang yang punya unsur budaya, maka perpajakannya beda dengan pajak barang umum lainnya. Nah, di Indonesia film-film MPAA diimpor oleh 3 perusahaan (PT Amero Mitra, PT Camila Internusa dan PT Satrya Perkasa ). Ketiga importir film sebenarnya sudah ngerti-ngerti amat berapa tunggakan pajak yang harus ia bayar, nah masalah pertama: yang satu sdh bayar lunas yaitu PT Amero Mitra (and you know ternyata pajak yang harus dibayar 1importir cuma 9 miliar! sangat sedikit dibandingkan imbalan yang dibayarkan ke produser film di luar negeri sana yang mencapai 314 miliar). Yang dua importir sisanya ini nih masih membelot belum mau bayar, padahal kita nunggu-nunggu eksyen mereka kan..*gemes geregetan, sini deh aye yang bayarin*

Nah masalah yang kedua (aduh banyak banget ye masalah yang mampir di bacaan ini) dua importir yang belum bayar tunggakan pajak + denda adalah importir dari rumah-rumah produksi film-film Blockbuster yang rilis pada Juni–Agustus nanti. Blockbuster adalah istilah bagi film-film ber-budget besar yang dirilis studio-studio besar di bawah naungan MPAA. jadi intinya, kita gak bakal bisa lihat tuh film-film cihuy yang sudah saya sebutkan di paragraf sebelumnya.

Well, beritikad baik meluruskan masalah yang terlanjut melenceng memang akan banyak ditentang, maksud saya pasti akan mengandung pro-kontra yang mengiringinya. Dan siapa tahu lebih keren jadinya kalau kita mencari solusi buat kita sendiri. Sekarang saya mulai membiasakan merapel film-film indo bermutu (selain genre horor-seks tentunya!) yang belum sempat saya lihat, browsing film-film dokumenter karya anak negeri, dan coba lihat film Asia lain. Oiya film Thailand juga oke lho kaya Suck Seed (padahal asumsi saya tentang film Thai sebelumnya yaaa..gak jauh beda lah ama film Thai “gadis berambut ular”, atau horror Thai). Sekian saja share saya, terimakasih yang menyempatkan membaca. Jangan Lupa Banyak Minum Air Putih ya!
Salam "Sensor Pendeteksi" di dunia bahasa khayalan saya.

Kimmi

June 03, 2011

Main ke Inggris di Kampung Pare Kediri




See You Later Alligator!
This simple words just made me drunk for the first time in pronunciation of ACCESS-ES brought.
Very simple right just for drunk?

Persis seperti yang diucapkan I. Ketut Liyer (Hadi Subiyanto) dalam dialog nya dengan Liz Gilbert (Julia Robert ) di film Eat Pray Love. Bedanya apa yang diucapakan I.Ketut Liyer adalah aksen saya dulu dalam versi medhok berbahasa inggris, sebelum akhirnya saya tahu aksen-aksen lain yang menyerupai foreigner. Itu setelah saya tau ACCESS-ES yang mengembangkan ilmu pronunciation dalam pilihan studinya. Meski, saya tahu (ralat: sedikit sok tahu) kalau untuk main film asing, bisa jadi most of Foreign Producers want Indonesian people say English dialogue in their mother accent, dengan aksen orisinal orang Indonesia. Tidak dimix dengan accent yg dimirip-miripkan dengan foreigners.

Bersamaan dengan ketakjuban saya terhadap kalimat See You Later Alligator, saya telah menyerap 2 ilmu pronunciation sekaligus: pelafalan huruf T yg biasa disebut middle T, sekaligus pola diphthong yang bikin kalimat terbaca seakan-akan menumpang liukan roller coaster. Dan hari-hari selanjutnya saya belajar di ACCESS-ES membuat pengetahuan saya bertambah. Tentu saja adegan utamaku setelah keluar kelas pronun hanya ada 2 scene: 1)terbengong-bengong karena menganggap saking ‘wow’nya kelas tsb bagi saya yg pemula belajar pronun, atau yang ke 2) mulai memonyong-monyongkan mulut seperti yang dicontohkan coach saya di kelas sebelumnya.

Terkadang saya bersama temen-temen seperjuangan yg baru tau pronunciation menirukan gaya coach kami dikelas, hanya sebagai lucu-lucuan. Tapi aneh bin ajaibnya, kami jadi lebih terbiasa practice dengan cara menirukannya tiap kata-kata yg kami pronunciate. (FYI, kami memang belajar NOL BOLD ttg ini, jadi mau tak mau kami harus taat pada perintah guru untuk menghafal simbol dan cara baca tiap kata tertentu yang ditemui dikamus, alhasil kamus Oxford kami penuh dengan pelangi stabilo). Oiya, saya juga baru tahu kalau mau ngomong enggres gak cuma EKSYEN, tapi juga harus apal simbol-simbolnya.

Awal Mula ke kampung Inggris

Jadi awal mula aku ke Pare itu adalah sebuah laka-lantas (kecelakaan lalu-lintas, oiya laka lantas ini menurut versi saya). Ceritanya begini: waktu itu saya berniat mendaftar untuk jadi sukarelawan Gempa Jogja, dengan semangat heroik bak fantastic four, berangkatlah saya dan berencana masuk ke kloter KKN-Gempa yg diadakan oleh kampus. Tapi sampe sana, kuota penuh oleh mahasiswa semester 2, jadinya dibatasilah calon pendaftar semester bawang ini. (inilah alasan yg sampe sekarang aku benci). Akibat tertolak mentah-mentah itulah, tak mau berlama-lama di Jogja, saya langsung banting setir menuju Kampung Inggris, Pare-Kediri. Perkakas-perkakas yang sedianya saya persiapkan untuk jadi sukarelawan ikut terbawa ke Pare. Jaket tebal, kaos kaki, sepatu, energen, obat merah, plester (2 benda terakhir adalah benda yg tak habis pikir kenapa saya bawa di lokasi gempa, yg notabene menjadi surga para petugas P3K).

Dengan semangat desperate, berkelanalah saya mencari tempat tinggal camp, dan bergerilya pula untuk mencari tempat kursusan. Ah, Karena kemalaman nyampe pare, destinasi Tulungrejo (tempat pemberhentian bus terdekat dengan Pare) tak bisa dicapai. Saya diturunkan di tempat antah berantah. Dan suksesnya pak Becak mengelabui saya kalau tempat yg sedang saya injak gak bakal ada bus menuju Pare lagi. (memang bener sih, bus menuju tulungrejo gak ada, tapi bus yg turun sebelum tulugrejo itu ada, lewat jalan depan BEC. Tapi yasudahlah, pak becak itu baik kok).

Singkat kata, singkat cerita, Jadi di tempat ini kita bisa milih tempat kursusan apa, dan juga memilih jadwal sesuai kebutuhan kita. Karena disini ada banyak sekali tempat kursusan berjejal, pun dengan metode pembelajaran aneka rupa. Soal harga, gak usah ragu bin mikir, sangat-sangat terjangkau. Menurut saya sih mungkin karena masih pure pengendalian ekonomi dipegang masyarakat sekitar. Belum ada tuh campur tangan asing yang membuat perekonomian mereka harus dikendalikan. Ah sok very-know-well banget deh opiniku ini. Selain itu, saya bisa kenal dengan banyak teman dari berbagai universitas dan daerah. Just trust me, for me I never found this wonderland before: Kampung Inggris Pare-Kediri. (noted: yang entah kenapa beberapa media harus menuliskannya dengan Kampong?, seriously I found in dictionary of Bahasa Indonesia just use letter U than O for meaning: place, village, land. So, this is officially the wrong writing: Kampong, and the right writing is Kampung. I’m sure that ‘Kampong’ maybe taken from Malay language).

Ampun...tulisanku panjang bener kali ini. (dan saya jamin kalian pasti sudah mati akibat bosan yang tak terperi). So kapan kalian juga mau tahu Kampung Inggris ini?
Ini nih website ACCESS-ES kalau memang penasaran: http://www.access-es.info
ini juga kalau mau tau tentang phonetic symbols: http://dhqzkow.bee.pl/l5p3yg/

Salam 'Sensor bahasa' dan Dilarang Buang Sampah Sembarangan!

Follow