Try to search for The Things?

October 31, 2011

Have You Ever?



Menemukan satu buku lalu kamu jatuh cinta padanya? Selebihnya adalah tergila-gila. Pernah tidak, bahkan sebelum buku itu terbit, dalam suatu perjalanan/sore hari yang hujan kamu sudah membayangkan dan bergumam dalam hati “mungkin jika ditemani dg buku tsb, momen ini pastilah bertambah sempurna”.

Atau pernah salah satu dari kalian menguntit toko buku per minggu sekali hanya untuk mencari tahu kapan buku itu resmi dipasarkan?. Mungkin ini sedikit lebih gila, tapi adakah seseorang saja dari kalian yang jauh-jauh hari pre-order buku itu, lalu ketika buku itu sampai di tangan, tak juga bersegera kamu membacanya?. Namun kamu justru memandanginya dengan syahdu. Kamu lebih suka membacanya di “saat yang tepat”. Seolah-olah kamu memang menempatkan ia bersamamu di ruangan khusus dengan desain alami yaitu mood terbaikmu sepanjang abad.

Atau mungkin saja kamu tipikal orang yang tak cukup kuat menahan akhir kenikmatan. Buku yang kamu harap-harapkan terbit dan hanya setebal 160 halaman, lalu tanpa rasa sopan kau habiskan dalam satu malam?. Rasanya tak begitu elok jika kamu memperlakukan “hanya semalam/hanya seberapa jam” buku itu ditanganmu, sedangkan pengarangnya membutuhkan berjam-jam,berpuluh-puluh hari dan bulan untuk menamatkan pembuatannya. Sebuah mahakarya yang tak sampai hati terbaca habis dalam tempo singkat. Ia harus di spesialkan, Ia harus di anak-mamakan.

Ah, pertanyaannya adalah, Have You Ever?

Saya menjawabnya dangan Sure, I Have.

Ini juga bagian dari rasa cinta saya dengan bahasa si pengarang buku itu. Ohya, fyi Dia pengarang wanita yang cukup masyhur. Dan akan saya sebut juga Ia pengaduk emosi yang elegan. Karena sestabil-stabilnya emosi saya, tetap saja teraduk-aduk dan runyam hancur ketika membaca bahasa buku itu. Pokoknya kacau-lah, seakan-akan saya yang jadi tokoh utama di buku tsb. Ikut menangis betulan jika si tokoh utama sedang berada di cerita patah hati. ikut lega jika suasana hati si tokoh lagi ceria. Serba sentimentil ujung-ujungnya.

Kebetulan buku yang saya maksud adalah novel, maka lengkaplah sudah drama pergolakan batin saya ketika harus membacanya perlahan tapi ingin segera habis. Tak sabar ingin tahu akhir cerita, namun sedih mengetahui halaman akhir semakin dekat mengintip. Ah inilah bagian hidup saya yang serba dilematis. : D

Saya menjalani kehidupan tak normal mencintai karangan si pengarang itu sejak di bangku kuliah. Tak normal? ya, call me a two-thousand thing year late reader, karena saya baru memborong semua novel pengarang ini di satu waktu yang tidak dapat ditoleransi sejak terbitnya novel pertamanya. Beli novel itu juga pas dapet beasiswa di kampus yang diniatkan separuhnya untuk beli bahan bacaan. Saya rakus melahapnya dalam beberapa minggu (waktu itu saya belum paham teori gila menganak-mamakan novel spesial). Saya sedang dimabuk cinta. Segala serba-serbi tentangnya harus saya ketahui dan tempo waktu sesingkat-singkatnya. Memborong novel si pengarang ini pun adalah akibat, dari sebab saya membeli dahulu novel ke-empatnya.

Have you ever fall in love with someone and something in your fourth chance?

What if  I say, I have.

Saya bertemu langsung dengan si pengarang ini secara tak sengaja melewati auditorium kampus yang sedang ramai-ramainya. Ternyata berlangsung acara meet and greet dengan pengarang ini. Sekaligus peluncuran novel ke-empatnya. Inilah awal saya membaca “FILOSOFI KOPI”. Sebuah tema yang sederhana pikir saya waktu itu, namun bisa membuat kamu mabuk kepayang akan aroma kopi jika benar-benar hanyut membaca part cerita ini..

Jangan heran kalau kemudian saya seperti keranjingan menulis di binder kuliah dengan tema-tema sederhana yang menyinggung alam: filosofi hujan, hijaunya daun, secangkir teh dalam hujan, dan sebagainya dan sebagainya. Ahh..saya berasa kena Dee’s syndrome. Dia mahir dengan kalimat kece-nya dan tentu saja saya nyesek dengan hasil tulisan karya saya yang serba amatir. Yah, pokoknya gitu deh, katrok tapi maksa pengen seksi. You can imagine kan ya in this part?

Dan novel yang ada di samping laptop ini, berjudul “MADRE” yang sudah beberapa bulan lalu terbeli di pre-order session+ bonus tandatangan+gantungan kunci, plus maaf mba @DeeLestari baru saya selesaikan sekarang. Karena ya itu tadi alasannya: saya selalu ingin mendapatkan surprise dari potongan-potongan kalimat di dalam buku ini di “saat yang tepat”. (-____- dalem yg dibuat2 ya? = ).

Jadi sebenarnya teman-teman inti tulisan ini di awal-awal tadi, Have You ever had something drove you crazy, even yourself said will made it mad?. Something that made you go insane just in insanity yourself knew about. Or anything made you believe you have some love left unsaid there, unspoken, soft and barely surprising you when “the something” touch you back someday.

What if it’s happen to you?

If I were you, I wish I could touch the love of smart sacred part in Dee’s words. I got Gennie to steal hers someday. LOL!


Madre mendekapku di segala penjuru
--Kimmi--

October 04, 2011

Sebaskom Rindu dalam Beberapa Tahun




Secangkir kopi mengingatkanku pada senyum di akhir tahun 2007. Segurat pertanda yang menjadi awal roda mekanik berputar dari asnya. Aku mau, karena kita sama-sama tahu dari jauh. Tapi aku benci sesuatu; ruang hampa yang bernama 'jarak' akan bersanding antara aku dan kamu. Kamu menguatkanku untuk sabar. Ini baru awal.

Sepoci teh menghempaskanku ke ranah pertigaan 2008, dengan gelak tawa saling bertemu.  Kita berpacu meraih mimpi bak berada di arena pacuan kuda yang tak berbeda. Lari, jatuh, lari kencang, tumbang, berdiri dan lari lagi dengan semangat memburu. Satu tempat yang sama, untuk beberapa semester cukup melegakan puasaku.


Lalu segelas air putih kuteguk pada pertengahan 2009, dengan kesedihan menggugu. Aku tak menyoal seberapa sakit aku waktu itu, tak sebegitu ingat bagaimana kronologis masa pemulihan sakit kala itu. Tau-tau aku sudah memaafkanmu. Aku mafhum  ini hanya soal perbedaan maksud, jarak dan waktu.


Sekaleng susu beruang kita bagi berdua membawaku berada di 2010, aku duapersepuluh, kamu delapanpersepuluh. Kita selalu membelah yang kita punya menjadi dua, berapapun itu. Agar kamu juga ikut merasakan rasa apel jika aku tengah mengunyahnya. Kadang aku harus kamu paksa tahu rasa soto daging, bahkan hanya lewat ceritamu dari jauh.


Seplastik susu jahe tercecap aneh di triwulan 2011, aku disini kamu disitu saling menjauh. Tentu saja aku ngilu, kamu lebih memperhatikannya daripada aku. Tak seberapa paham mengapa aku begitu ingin memproteksimu. Hanya saja kemudian hari aku tahu; semakin kencang genggaman kita, semakin dibuat tak nyaman saja rasanya. Di aku, dan di kamu.


Segenggam rinduku membeku di bulan ke 10, menyatu bersama mimpimu yang sengaja kau tepis jauh. Lalu aku ini harus bagaimana? Kamu yang menawarkan senyum itu dulu, sekarang senyum itu kau tarik membisu.

Dimana lagi kita bisa saling menyapa? Kalau dalam mimpi dan ruang beku saja kau tak mau tahu. *Tak ada jawaban darimu*


Disini saja kita bertemu, lewat innerco yg siap datang memanggil kapan saja ia mau.


Jakarta, 4 Oktober 2011

October 03, 2011

Barangkali memang karena memaksakan kehendak



Bukan saja efeknya pernah aku ulas sebelumnya di postingan ini : Ayah dan 3 Kalimatnya, namun diluar itu seseorang mengatakan dan memberikan peringatan kepadaku berlabel “Dangerous Warning, Beware on your bad character; Obtrude!” untuk menjustifkasi sifatku ini.


Barangkali memang benar, aku tidak akan pernah  sampai di 4 tanah pencarian ilmu-ku  jika aku tak berkeras hati untuk menujunya. Barangkali aku tidak akan sampai ke tanah Pare kalau saja aku tak memaksakan kehendak untuk menjadi relawan gempa Jogja tahun 2006 silam dan tertolak!. Meski ayah dan ibuku pada saat itu lebih mengkhawatirkan kondisiku yang ironisnya berangkat justru untuk menolong kondisi orang lain. Aku tertolak dan merubah kompas liburanku ke kota Pare. Bisa baca disini kalo mau di sini


Barangkali karena aku pemaksa kehendak, dan ingin semua sesuai seperti yang aku inginkan. Aku sering gagal lolos jika mengirim application form untuk beasiswa. Bahkan dengan muka tak tahu malu aku mencoba mendaftar di ajang oversea untuk para tokoh muda se-Indonesia. See? Aku memang tak tau malu. Aku gagal, karena aku tahu aku memaksakan kehendak tanpa memandang kemampuan diri.  Lalu datang waktu dimana kemudian aku bisa ngelesot di rumput halaman university of western Sydney. it's called by 'the moment' means you can measure yourself by forcing yourself.


Barangkali karena aku memang memaksakan kehendak. Sejak awal memilih orang yang tidak bisa memberikan label 'acceptance' pada sifatku ini. Meski seringnya aku menerima dengan baik sifat-sifat yang belum tentu aku suka padanya. Ah, barangkali 'memaksakan kehendak-ku' ini memberi efek negatif padanya. Sorry, i didn't mean it. Kelebihan dan kekurangan mutlak ada.


Barangkali memang ada kelegaan tersendiri when we try to pursue thing that we dream, when we try to get finest thing in life, to be well-traveled, to reach some loves, to gain some happiness, to paint some smiles.., even in a force will sometimes..Is it wrong?. Barangkali iya, barangkali tidak.


Barangkali memang tiap orang berbeda untuk mengambil cara demi ‘value’ yang ia harapkan. Ada yang mungkin harus memaksakan kehendak bisa meraih semuanya. Ada yang dengan santai ia mendapatkannya, dan ada pula yang harus menggunakan kekuatan ala militer untuk menjadikan semua miliknya.

"Everybody has his/her own character to pursue anything.  Do not so judge her/him madly blindly".


If bad character is on you, and always impacting people around you, do you mind if you change it? 

No, you will not change a single thing about yourself just to please anyone; it’s about please yourself and makes yourself better. That’s a lesson.


Follow