Try to search for The Things?

February 25, 2014

Longing For Home


Life's been pretty busy this week, I might say it's crazy. The stuff and dramatic feelings been brought me to the path, my walk research in Surabaya. I woke up pretty early 6 am in the morning with panda's eyes as the night I've been enjoying (beer?) writings report till 2 am. I put aside my tiredness and my biggest mistake and regret: Asia's next top model in Star World. My report was my reason I put my Wednesday in a quick packing, rushing to airport, booking accommodation, and confirming last minute meeting. I didn't expect my boss gets me to Heroes City as fast as I thought.

This cleaner and neater city help me better with cloudy and drizzle along whole day. I can fit my feelings to be not more mundane. My second day starting by dragging myself from this place to that venue, and elaborating the issue and stuff. It was neglecting my stomach's need.

....and the weekend comes. I made a quick decision not to go to Jakarta on Friday night. Room in my Jalan Karet Pedurenan doesn't bring me special. So that, I again, hurrying to terminal in catching up late bus to very East Java, Jember, my hometown on 9.15 pm.

1.30 am: just arrived. I didn't see my mom, neither my sister. I really need a quality rest.

Saturday (doing whatnot stuff with 'lil Yesa and eating much favo food) and Sunday (early wake up and go around with other nephew). Sunday 1 pm: I can't help but really should leave this hommy place. My GA flight around 8.30 pm.

And yes, that subject called me on my way to Surabaya. I wish I could meet. Maybe next the other time. FOR GOD'S SAKE! Saya nerima telpon dengan amat deg-deg. :)


--Kim

February 18, 2014

China, bukan Caina


Dari Tjina, menjadi Cina, lantas diperbarui China (dengan "H"). Kita menghormati otoritas yang mengedit tata bahasa kita dengan dengan berbagai pertimbangan. Namun apakah lantas kemudian cara pelafalannya pun ikut 'diminta' berubah? dari dulu Bahasa Indonesia kita punya huruf "i" tetap dibaca "i". Entah diawali atau diakhir oleh konsonan lain atau tidak. Tidak berpengaruh.

Ini jelas berbeda dengan "Indon" yang dibuat untuk menyingkat Indonesia. Sebuah profan yang resonansinya sama dengan "nigga" Amerika kulit hitam. Sejarah berbicara, "nigga" dalam penggunaannya sangat melukai perasaan kulit hitam Amerika. Saat itu masih dibedakan area publik antara "colored" dan "white". Kemudian Kennedy perjuangkan melalui Civil Right Act of 1964. Sedangkan "Indon" berkonotasi negatif karena disandarkan artian kepada TKI-TKI Malaysia yang tidak memiliki kecakapan kerja, yang gampang dibully, yang seenaknya haknya tidak dipenuhi dan segala tindakan yang 'melukai' martabat pahlawan devisa Indonesia. Itu dulu, ketika sistem ketenagakerjaan kita masih amburadul, meski tidak yakin juga sekarang sudah sebaliknya.

"Indon" disepakati kedua negara untuk tidak dipakai, karena terdengar 'menyakitkan' bagi Indonesia. Kita melihatnya dari sisi historis. Lagipula negara ini bernama lengkap Indonesia dan tidak disingkat dengan semena-mena. Singkatan yang disepakati oleh kita adalah INA. Seperti halnya AUS dan USA atau NZ. Ini wajar untuk diluruskan, dan ini berbeda dengan C(h)ina.

Alasan penambahan huruf "H" adalah obat pelipur bagi perlakukan anti-Tionghoa yang pernah tercatat dalam sejarah bangsa ini pada mereka, cukuplah begitu adanya. Tidak perlu penambahan "H" ikut mengintervensi pelafalan dan cara baca kita. Saya setuju dengan tulisan Sapardi Djoko Damono dalam Tempo pekan lalu (17/2/14). Apakah kita terus-terusan mengangguk jika tata bahasa saja kita pun diintervensi?.

Kita bangga berbahasa Indonesia berarti melestarikan apa yang sudah disepakati oleh pemuda-pemuda pendahulu kita. Sepakat berbahasa satu, bahasa persatuan, bahasa Indonesia. Toleransi tetap ada, tapi jangan keblinger, jangan berlebihan. Kita masih berhak 'saklek' untuk urusan 'harta' bangsa.

Untung saja, penamaan Kapal RI Usman-Harun kemarin bisa kita pertahankan dengan elegan. Meski negeri sekecil liliput itu 'ngambek'. Keteguhan pemerintah kita perihal penamaan yang bisa dipertahankan (meski bukan persoalan yang besar), entah kenapa telah menaikkan satu tingkat kebanggaan saya terhadap bangsa Indonesia, dan rasa terima kasih saya kepada pihak berwenang untuk ini.

Sekali lagi untuk itu, aneh rasanya kesepakatan penambahan huruf "H" sebagai permohonan maaf bangsa ini (mewakili rezim yang bersalah) kepada seluruh warga Tionghoa, kemudian diikuti pelafalan berbahasa Inggris menjadi "Caina".


--Kim--
PS: Sering gatel mendengar pembaca berita dengan fasihnya membaca China dengan pelafalan Bahasa Inggris.

February 11, 2014

Chennai Express: Penuh Komedi dan Reunian

Saya tak ingat persis kapan saya dan teman SMA saya ini menjadi bersemangat menceritakan hal-hal tidak penting. Menceritakan begitu cantiknya Rum (Rumanah "Tukang Bubur Naik Haji"), begitu kocaknya film Suzanna, gokilnya Chennai Express, dan bagaimana mahasiswa jaman sekarang ber-KKN dengan menyebut-nyebut 'bid'ah' ke warga kampung.

Enak rasanya membicarakan kesalahan dan ketidaktepatan orang dengan nada riang seperti ini, walaupun ujungnya gak enak juga sih. Karena apa sebenarnya yang sudah kita lakukan?. Untungnya ini bukan ajang berpendapat di ballroom hotel-hotel mewah seperti di televisi. Jadi kali ini kami bebas dikejar rasa bersalah akibat tidak bisa menjawab pertanyaan maut yang selalu mengintai itu.

Kembali ke film yang tengah kami bahas. Saya belum pernah berjumpa dengan seorang lelaki (setelah sepupu saya tentunya) yang begitu antusias diajak membicarakan film india. APA? Iya I-N-D-I-A. Mungkin bakatnya memang jadi perayu yang metesek di umur twenty something-nya, Saya harus memaklumkan ini sepertinya. Kalau ndak, saya bisa dikosek ampun-ampunan dan dijancuk-jancukkan. :-D

Bollywood, demikian sebutan tenarnya, mampu memproduksi ratusan film india yang bernilai multi-million dollar. Tentu ini berlaku hanya di Mumbay dan sekitarnya saja. Kita pasti masih ingat, pelajaran IPS ketika SD berapa luas negara India dan bertetanggaan dengan negara mana. Yang belum ingat, mari kita buka RPUL -Wikipedia. Banyak orang Pakistan melihat film India, karena mereka juga mengerti bahasa Hindustan. Begitu juga Bangladesh, Nepal dan Sri Lanka. Tidak heran rasanya jika film lokal Hindustan mereka berjaya di negara sendiri, dikonsumsi oleh warganya sendiri. Warga negara sebelah yang juga suka hanyalah sebuah bonus. Bollywood menjadi signature icon India.

Hiburan memang menyatukan perbedaan, bahkan konflik. Masih ingat Indonesia geger karena karena tim sepak bolanya kalah oleh Harimau Malaya, remaja Malaysia tak ambil pusing dan masih setia dengan sinetron "Yusra dan Yumna" kita. What a real..., fact (teens).

Salah satu dari sekian banyak daftar yang membuat saya tertarik dari Chennai Express adalah tidak lain genre komedinya. Juga, budaya yang ditampilkan tak malu-malu disandingkan dengan keindahan daratan India Utara-Selatan. Kita seperti diajak berwisata masuk ke rel terowongan, melintasi jembatan yang membelah gunung, melewati air terjun yang menakjubkan, shot-shot yang jernih, tokoh-tokoh yang multi-ras, warna-warni sari, tarian yang rancak, sembari disodori komedi yang effortless. Sebuah paket kombo yang siapapun tak akan tolak.

Saya menyebut film yang dibintangi SRK dan Deepika Padukone ini sebuah reuni. Bagi yang pernah mengikuti penetrasi film India ke kampung halaman masing-masing, tentu ingat tokoh Anjeli, Tina dan Rahul. Tokoh ini juga bagaikan sekawan dengan judul-judul seperti "Dilwale Dulhania La Jayange" atau "Rabne Bana Di Jodi", "My Name Is Khan" dan baru-baru ini "Ra One". Sutradara film ini asyik menyomot adegan-adegan yang tak terlupa dari film-film yang terkenal sebelumnya. Adegan lari-larian Kajol dan SRK di kereta dalam film DDLJ  menjadi pembuka di Chennai Express, tentu dengan balutan komedi. Dan juga "....My Name is Rahul, and I am not terrorist" juga bisa kita dengar lagi disini. Lagu-lagu dari film-film lain diambil bagian reff-nya dan disempalkan dalam dialog, menjadi cubitan bagi kita yang akan bergumam "sepertinya saya tahu lagu ini".



Lalu, sponsor utama film Nokia Lumia 920 juga tak basa-basi dimasukkan dalam dialog, tidak boros kesannya, masih bisa kita terima dan tetap lucu. Saya harus mengacungi jempol dua bagi pembuat skenario. Tagline SRK "dont underestimated the power of common man" ini sepertinya tidak asing kita dengar. Selain nukilan dari film Ra One, dengan guyon kita bisa artikan ini sentilan untuk gejolak politik di India. Partai "Aam Aadmi" (Common Man) yang dipegang oleh Arvind Kejriwal, seorang mantan insinyur yang berubah haluan  menjadi politisi sedang menentang partai incumbent Congress Party di pemilu nanti. Saya tidak pasti pembuat film ini memiliki kecenderungan politik kepada siapa, tapi rasanya bila ada dukungan bagi golongan oposisi yang menentang 'partai lama yang berkuasa' rasanya sah-sah saja ditampilkan lewat seni.

Cerita Chennai sederhana, tapi komedinya berhamburan dimana-mana. SRK, seorang penjual manisan di umurnya yang ke-40 dari Mumbay, ia harus ke Rameshwaran untuk melarung abu jenazah kakeknya. Di tengah berkereta itulah ia menemukan ceritanya. Ia bertemu Meenama Lohdchini yang melarikan diri karena menolak dinikahkan dengan Tangabali. Ayah Meena merupakan bos gengster di wilayah Komban. Ayah Tangabali begitu juga. Jadi jika keduanya menikah akan menambah zona kekuasaan si Ayah Meena. Drama lari-larian dari kejaran preman-preman ini menghiasi awal cerita Sampai suatu saat, Rahul jatuh cinta dengan Meena (klasik ya), dan memperjuangkannya untuk mendapat restu. Eciyeh.

Mungkin karena saya penyuka detil, kekocakan film ini diperpecah dengan kesan India yang tidak biasa. Saya pasti akan mengingat penduduk India yang cantik mulus. Tapi penduduk bagian utara asli yang berkulit hitam legam dan tetap ceria disini ditampilkan. Belum lagi warga Sri Lanka yang tertangkap di perairan India, penjaga kereta yang diuncalkan (dilempar) ke sungai, dan bagaimana proletarnya keseharian sebuah kampung di Tamil Nadu. film ini berlatar Desa Komban, India Utara.

Terakhir, apakah saya akan merekomendasikan film ini untuk kawan-kawan semua, bagi yang ingin tertawa-tawa melebihi 3 IDIOTS atau lucunya SRK di Rabne Bana Di Jodi, saya akan berkata begitu. Film ini juga bahkan sukses mengalahkan DHOOM 3 dan menjadi film ke-empat India dengan pasar yang sukses di luar negeri. Dan bagi yang tidak suka SRK, sudahlah, memang sudah jadi tuntutan akting, ia harus beraksi lebay sedemikian rupa.


--Kim--

Follow