Try to search for The Things?

August 22, 2014

Memutuskan Berbagi Hidup (Part I)


(Sebenernya gak mau diposting, nunggu waktu yang pas. Tapi kalau ditunda-tunda nanti mood-nya juga ilang entah kemana)

Jadi, saya mau cerita, agak lama memang proses menuju keputusan dramatis ini. Jalannya dibikin berliku dulu, menunggu bertahun-tahun untuk mendapatkan yang sudah "dituliskan" di atas sana. Ekstrim. Dan saya terus tertegun sambil bergumam " kok berani ya saya?"

Memang bukan lamaran, tapi keluarga saya dan keluarganya sudah saling tahu, saling silaturahim. Dalam budaya keluarga saya, saling tahu itu bermakna dua keluarga sudah saling menerima, sudah "iya" dan tinggal menunggu prosesi sakral berikutnya saja: lamaran then ijab qabul.

Kesannya mendadak dan tergesa-gesa, padahal tentu tidak. Sejak putus setahunan dengan mantan terlama (Gosh! just realized saya jalan enam tahun ama dia tanpa restu), saya mulai membiasakan dipertemukan (dijodohkan) dengan anak teman Ayah Ibu, anak saudara, teman kakak dsb. Saya membuka diri, tentu saja karena life must go on kan.

Hingga, akhir Februari 2014, entah tanggal berapa saya dihubungkan oleh saudara sepupu saya untuk berkenalan dengan temannya. Namanya juga USAHA ya gaes, saya iyakan. Kami menjalin hubungan komunikasi jarak jauh. Kami menerka-nerka sejauh apa kecocokan kami terbangun, atau ya istilahnya chemistry. Alangkah ajaibnya, jalan yang kami titi dipermudah, kami bertemu ketika saya tugas ke Jawa Timur, Dan ohya gaes, dia masuk kategori lagunya Uut Permatasari "Pacar 5 Langkah". (Wait, did i just say lagu dangdut? ya ya I'm googling first). Rumahnya bisa ditempuh selama setengah jam dari rumah saya di Jember. Aduh, saya kan pernah anti-anti gitu dengan pacaran lokal gini. Haha mampuslah saya.

Upaya paling kerasa dan kayak dibuat-buat sempat terjadi di bulan-bulan Mei. Saya memaksa cocok dengannya. Haha tentu ini proses yang paling sulit ketika ketidakcocokan mulai muncul. Tapi toh, kita berusaha melihat ada langkah besar dan cita-cita lain yang perlu dipikir, lalu meluruhlah ego kami masing-masing. Singkat kata, bulan Juni, setelah melewati istikhoroh (ciyeeh istikhoroh, gak percaya deh saya bisa bangun malam) dan doa-doa dari orang tua, keluarganya datang ke rumah untuk memberitahukan secara terbuka "meminta" saya. Tahu posisi saya dimana? Sedang di Balikpapan ngetik talking points dan speech buat Pak Jokowi.

Bulan Juli, Bulan Ramadhan saya dipertemukan lagi dengannya, dalam tim kampanye. Sebenarnya dia bukan yang orang partai-partai gitu, lets call this volunterism for Pak Jokowi. Apapun itu, saya diberi banyak tahu tentang dia dilihat dari kacamata saya sendiri.

Dia memberi saya alasan, meski dia tidak memiliki banyak alasan mengapa memilih saya. Dia memberi jawaban meski dia tak pernah membuat-buatnya seperti jawaban. Ah dia sangat sabar, sederhana dan simpel, gak ribet kayak Pak Prabowo.



Udah segitu aja, sementara hidup saya tiap weekend selalu ke Surabaya dan balik lagi ke Jakarta untuk mengurusi hijrah saya dari Metropolitan ke kota Pahlawan.


Bises,
-Kim-


Follow