It's "rule of game" kinda night.
Setengah jam memasuki hari Jumat, saya sudah siap-siap tidur. Ada bunyi pesan Whatssap.
"You might be following me to Makassar tomorrow for campaigning. Please prepare and coordinate everything with your collegue in KL"
"Noted boss, will do now"
Begitulah, lalu saya dan kolega di Kuala Lumpur mulai berkasak-kusuk dalam bbm mempersiapkan segalanya buat besok. Materi selesai pukul satu pagi hari. Saya langsung beringsut tidur. Pikiran tidak bisa tidur sih, tapi dipaksa. Karena besok pagi will be a hard day, Thank God it's Friday?.
Pukul 3 subuh, saya terbangun karena perut meililit tak kenal kompromi. Ah ini maagh saja mungkin. Akhirnya saya beri obat maagh seperti biasa, lalu kembali tidur. Pukul 4 subuh, saya benar-benar tidak bisa beristirahat. This stomache is going to kill me.
And..saya sudah tak ingat lagi berapa kali saya bolak-balik kamar kecil. Tiba-tiba tubuh saya lemas tersungkur tak berdaya. Badan ini meringkuk di pintu wc, meraih handphone untuk menghubungi teman sebelah kamar. Akhirnya teman yang membereskan segalanya dan memberangkatkan saya ke rumah sakit. Kami langsung ke UGD.
Karena diare dan dehidrasi, saya akhirnya tertidur di UGD hingga benar-benar kuat untuk pulang. Jarum suntik menempel di punggung tangan. Tak ingat lagi seberapa sakit. Yang justru saya khawatirkan adalah berapa jumlah obat yang harus saya telan nanti? kapsul kah, tablet kah? Ya ya..saya gamang karena saya tak bisa menelan obat. Penyakit gila anak muda nomer kesekian.
Namanya juga permainan, ada pelaku, subjek dan objek. Ada juga berbentuk aktif dan pasif. Minggu ini saya melewati permainan yang sangat seru. Setengah jam memasuki hari Jumat badan segar bugar tapi kemudian bisa loyo dan seperti sudah diingatkan untuk terus jaga kesehatan.
Saya sedang "diajak bermain" kata-kata dan logika dengan si itu tuh, anak bandel di Turki. Sumpah saya benar-benar jengkel dibuatnya. Tak pahamkah dia saya ini anti kalah? Dia mengambil celah ketika saya salah mengambil diksi. Saya menuduhnya manusia dengan sifat mesum, murni ingin bercanda dan bermain-main. Dia seolah bisa membebat habis pertahanan saya dengan dalih kata "mesum" tidak bisa begitu saja disematkan kepada orang dengan mudah. Saya merayunya lagi kalau saya bercanda. Ternyata dia sedang tidak mood untuk bercanda dan bermain (mau serius ya?). Berulang lagi dia pertanyakan mengapa saya melakukan begini, apa yang mendasari saya berkelakuan begitu. Seperti mau ikut kuliah filsafat batin saya waktu itu. Secara tidak langsung saya diajak ke pusaran "permainan" nya. Lalu ia menyasar saya dengan batasan "bermain". Saya kelimpungan, tak tahu mau menjawab apa dan bagaimana. Ia terus menyerang, saya terpojok. Seperti apa Lala? Maumu bagaimana?
Saya bilang saya tak tahu. Saya hanya bermain. Normalnya mungkin tiap permainan, kita harus paham mainan apa yang kita permainkan. Kalau saya tidak, lalu saya menjadi absurd? Lawan saya tidak jadi bermain?. Tapi saya mau terus bermain, tidak ada yang bisa menghentikan anak kecil sedang asyik bermain, bahkan hujan atau panggilan Ibu sekalipun.
Dia terus-terusan mendesak, saya terpojok. Saya kesal di ujung ubun-ubun menyumpahinya. Kesal saya berkelindan melihat upayanya akan menarik diri dari permainan absurd yang saya ciptakan. Saya memang sedikit terancam, dan saya tidak mau berada di posisi tidak terenak. Manusia kan memang begitu, tidak mau bersusah payah. Entah dapat ide darimana, saya bilang minta maaf pada sebuah kertas dan mengirim foto itu kepadanya. Saya ambil selembar kertas folio lagi tertulis "I'm Sorry, Would you be My Game Partner Again?"
Terlihat sudah dia menang tapi tak begitu terkesan-kesan banget. Dan saya tertegun akibat ulah saya sendiri. Baru sadar jika absurdity itu menarik banyak makna yang tak berkesudahan. Kalau tak mampu menciptakan dan mempertahankannya, lebih baik disudahi saja. Tapi kalau bisa bertahan, ya just stick and go with it. Jangan dibuat susah.
Malam-malam kemudian, saya menjaga jarak dengannya. Murni ingin menciptakan jeda sih. Katanya spasi atau jeda itu sedikit melegakan dan melonggarkan dari yang terlalu dekat sesak berdempatan. Berangsur-angsur kondisi kesehatan saya juga membaik. Saya bersyukur, sebab destinasi selanjutnya sudah ada di depan mata. Agenda yang mengharuskan saya sambang dari bandara satu ke bandara lain sudah di tangan. Menari-nari di pelupuk ini rasanya pengalaman yang akan saya jumpai nanti.
Lima hari kemudian, saya ditanyai lagi sama Boss.
"Are you feeling better? well enough to travel?"
"Yes, feeling better."
"You may follow me to Surabaya tomorrow"
Begitulah, kemudian saya terbang ke Surabaya untuk pertemuan dengan Ibu Risma, walikota kesukaan kita-kita, sambil membawa obat-obatan lima jenis yang harus ditelan habis.
---Kim---