Mimpi kerap menyisakan pegal dan rasa sesak ketika kita bangun. Saya membenci hal ini.
Pegal ketika mimpi yang hadir merujuk pada rentetan adegan yang membuat badan kita ikut bekerja. Terkadang cerita yang diputar dalam mimpi bak roll pita film yang sedang diputar di layar tancap. Seketika kita terjaga, buru-buru menyadari hal-hal baik yang terjadi itu hanya mimpi, begitu cepat menurunkan satu tone gejolak hati yang sebelumnya berbunga-bunga. Inilah yang mengakibatkan dada kita sesak
Dalam hati inginnya kita meneruskan mimpi baik, bagaimanapun juga sekerasnya kita berupaya menyambung mimpi itu, tak akan pernah berhasil kawan. Kali ini aku nasehati kalian ada baiknya jangan mencoba-coba, ikhlaskan saja mimpi itu terpotong oleh terjaganya kamu dari tidur.
Semalam, mimpi aneh menyambangi tidurku. tidak jelas pukul berapa, mungin sekitar jam 4 subuh. Oke mungkin adegan mimpi ini tak begitu penting untuk divceritakan di bagian ini, tapi tak apalah aku ceritakan saja, daripada kalian penasaran. Mimpi ini menggiringku pada pertemuanku dengan seseorang berwujud laki-laki memberikan pundaknya untuk saya sandari. Hati saya berdegup kencang. mungkin jika ada video yang merekamku tidur, acapkali nampak senyumku tersungging sewaktu saya tertidur. Yang membuat sesak tak karuan adlah, 'siapa orang itu?' dan mengapa hanya mimpi?. Bangun kesiangan, dan aku cuma tersenyum kecut gara2 mimpi ini.
Kata orang, mimpi hanyalah bunga tidur, tapi kata orang lagi, mimpi adalah bagian dari perjalanan kita untuk berhasil. Semua berawal dari mimpi. Kata orang lagi, hari gini masih percaya mimpi, buang-buang waktu. Sounds so controversial right?.
Aku suka bermimpi, tapi memilih mimpi yang tak melenakan. Aku juga sesekali mengacuhkan mimpi, untuk yang tak begitu penting diingat. Aku seringkali menjaga mimpi untuk sesuatu yang ingin kucapai. Semua terbalut dalam satu kata: MIMPI.
Kita tak akan pernah lupa menjaga mimpi-mimpi itu, menyirami, mengundangnya kembali masuk ke alam tak sadar sewaktu kita tertidur. Bergarap suatu saat nanti, mimpi itu bersanding satu kata lagi : KENYATAAN.
Try to search for The Things?
July 13, 2011
It Makes Me ill
"It Makes Me Ill"
by: N*Sync
by: N*Sync
[Justin:]
I was hanging with the fellas
Saw you with your new boyfriend, it made me jealous
I was hoping that I'd never see you with him
But it's all good, 'cause I'm glad that I met him
Heh
'Cause now I know the competition's very slim to none
And I can tell by looking that he's not the one
He's not the type you said you liked
His style is wack, clothes are bad
Come on, girl, let him go
I want you back
[JC:]
Call me a hater, if you want to
But I only hate on him 'cause I want you
Say I'm trippin' if you feel like
But you without me ain't right (ain't right)
You can say I'm crazy, if you want to
That's true-- I'm crazy 'bout you
You could say I'm breakin' down inside (inside)
'Cause I can't see you with another guy
[Chorus:]
It makes me ill
To see you give
Love and attention at his will
And you can't imagine how it makes me feel
To see you with him
Oh, it makes me ill
To see you give
Love and attention at his will
And you can't imagine how it makes me feel
To see you with him
[JC:]
Girl I know that we broke up
But that doesn't mean you should give the cold shoulder
'Cause you know that I truly do adore ya
And that other guy can't do nothin' for ya
Uh, see
I can tell that you don't really love that guy
But there's no need for you to go and waste your time
I think you know I love ya more
Girl you gotta let him go
I want you so just give him the boot
[Justin:]
Call me a hater, if you want to
But I only hate on him 'cause I want you
You can say I'm trippin' if you feel like
But you without me ain't right (ain't right)
You can say I'm crazy, if you want to
That's true-- I'm crazy 'bout you
You could say I'm breakin' down inside (inside)
'Cause I can't see you with another guy
It makes me ill
To see you give
Love and attention at his will
And you can't imagine how it makes me feel
To see you with him
Oh, it makes me ill
To see you give
Love and attention at his will
And you can't imagine how it makes me feel
To see you with him
Ohh...
It makes me ill cause you used to be my girl
Used to be (my girl) used to be my girl yeahhh
It makes me ill (ooh) cause you used to be my girl (c'mon)
My girl
So baby come back to me (baby...)
It makes me ill
To see you give
Love and attention at his will (at his will..)
And you can't imagine how it makes me feel
To see you with him (when I see you with him)
Oh, it makes me ill
To see you give
Love and attention at his will (at his will)
And you can't imagine how it makes me feel
To see you with him (baby I'm jealous)
Oh it makes me ill
To see you give
Love and attention at his will
And you can't imagine how it makes me feel
To see you with him (you can't imagine how it makes me feel)
Oh oh oh oh oh oh oh oh oh oh..
Oh oh oh oh oh oh oh oh oh oh...
Oh oh oh oh oh oh oh oh oh oh..
Oh oh oh oh oh oh oh oh oh oh..
[Justin (screaming):]
What?! We done and done it again!
Messaaaaage ohhhh! [laughter of the guys]
It's gravy baby.. aha..
July 12, 2011
Wasit Tinju dan Perasaannya
Merasa menjadi orang yang paling tolol sedunia ketika aku harus mengikuti detik-detik mereka berada di antara kanan dan kiriku. Mengendus gelagat mereka akan menyerang atau menyampaikan strategi beradu. Mengeja bagaimana yang tak tampak di pikiran mereka menjadi visual. Mendengar kata hati apa sudah tepat waktunya untuk bergerak memisahkan.
Aku merasa sebagai seorang wasit, yang seolah-olah harus memisahkan dua insan ini.
bukan mencegah terjadi pertengkaran antara mereka berdua, tak juga untuk melerai,
tapi untuk memisahkan mereka dari perasaan yang akan tumbuh seiring kebersamaan yang menimbun. Entah mengapa, ada semacam ketakutan luarbiasa yang ingin ku bagi sebenarnya pada salah satu orang di kananku. Dan sepertinya jika ketakutan ini sungguhpun beralasan, penonton akan bilang wajar.
Apa perlu aku menjalankan tugasku dengan cakap dan sesegera mungkin memisahkan mereka yang sedang di ring ini?. Atau apa butuh aku lempar ke udara rasa ketidakterimaanku berprofesi sebagai wasit yang hanya berdiam diri?.
Mungkin saja aku wasit yang kalah, yang tak bisa berbuat apa-apa, yang harus mundur dari arena ini.
"Biarkan perasaanku termaktub di kertas ini, sehingga kapanpun innerco memanggil,
cukup kau cari saja disini".
Rasanya saya menyampah cukup banyak dan sangat tak penting. Tapi ini memberi kepuasan dalam menyelami pikiranku sendiri.
"Rindu ini sudah mengkristal membatu di suhu yang terus kujaga beku, kau tau? apa sepoci air hangatmu mau kau bagi kepadaku?".
"Aku tak ingin engkau jauh, tak juga ingin sedekat kerat dengan genggaman kangkung,
bukan menjadi acar yang memiliki sensasi rasa yang hancur, aku mau kau terus ada di dadaku".
Wasit Tinju, meski berbadan tak besar, ia akan terlihat garang di arena, ia tak bisa dihasut oleh siapapun. Karena ia mengandalkan semua indera nya untuk mengetahui situasi yang harus ia tanggapi. Gesit, konsentrasi, tak mau kompromi.
Wasit Tinju tau kapan ia berhenti berprofesi.
July 08, 2011
Resensi: Dilarang Melarat, Narasi Teologis Tentang Kemiskinan
Dalam rangka ikut2an teman yg mempublikasikan karya yg sudah dimuat di media, bolehlah kiranya saya juga mempublish karya resensi saya yg termuat di jurnal resmi Kanisius. Tak ada niatan resmi untuk ini sih, selain 1) Karena ikut2an teman yang juga mempublish karya mereka, dan 2)Menyemangati diri supaya tulisan selanjutnya ada yang termuat lagi. Padahal tulisan ini pun juga termuat tahun 111 sebelum Masehi (Antara malu, tapi tetep aja diposting).
Oiya sedikit cerita ajaib tentang asal-usul tulisan saya termuat (tumben banget saya nulis resmi dan termuat). Kejadian itu tidak serta-merta teman, ketahuilah menulis resensi ini diawali oleh ajaran Sang Guru; Mas Ali Usman. Dengan dibantu beliau, dengan bimbingan yang saya terima naik-turun (naik-nya ada di Guru yg selalu semangat, dan turun-nya ada di saya yang emang dasar murid tipe males). Berkat editan beliau berkali-kali, akhirnya, ya akhirnya resensi ini dianggap laik dimuat (meski bukan media cetak), dan satu lagi kawan: imbalan gratis 2 buku yang boleh dipilih langsung di toko buku Kanisius!. Amboi...bahagia itu simpel kawan, ketika kita mendapatkan sesuatu yang bermanfaat dengan cara 6 huruf: GRATIS!
Well, enjoy reading..
Spiritualitas Kemiskinan
Alhimni Fahma *) (04/10/2007 - 11:57 WIB)
Jurnalnet.com (Jogja): Kemiskinan sering kita anggap sebagai permasalahan yang tidak bisa dicari penyebabnya dan tampak tidak bisa terselesaikan. Seandainya pun bisa, sangatlah sulit. Mari kita lihat di sekitar kita. Angka kemiskinan yang kian hari bertambah, semakin meyakinkan kalangan bahwa kemiskinan memang telah menjadi penyakit sosial yang mesti diatasi oleh semua kalangan.
Oleh sebagian kalangan, terjadinya kemiskinan itu merupakan imbas dari arus modernisasi. Modernisasi yang berlebihan itu telah menjadikan kehidupan modern saat ini demikian keras dan tidak bersahabat lagi bagi umat manusia. Akibatnya, salah satu indikasi yang paling nyata adalah semakin tampak adanya kesenjangan sosial berupa kelas-kelas dalam struktur masyarakat, antara masyarakat miskin dengan yang kaya.
Dalam kondisi demikian, situasi masyarakat yang sedang mengalami kelaparan (karena miskin itu) dengan orang yang merasa kekenyangan karena limpahan harta, semakin menganga dalam kehidupan nyata sehari-hari kita. Ditambah lagi, solidaritas antara sesama (telah) semakin pudar di sanubari setiap insan.
Karenanya, tak salah bila Peter L. Berger (1982) melukiskan manusia modern mengalamai anomie, yaitu suatu keadaan di mana setiap individu manusia kehilangan ikatan yang memberikan perasaan aman dan kemantapan dengan sesam manusia lainnya, sehingga menyebabkan kehilangan pengertian yang memberikan petunjuk tentang tujuan dan arti kehidupan di dunia ini.
Diakui bersama, bahwa kemiskinan menjadi problem sosial yang menimpa masyarakat di seluruh dunia. Di negara-negara berkembang seperti Indonesia, persoalan kemiskinan telah lama menjadi "momok", dan karenanya sudah sejak lama pula memunculkan semacam "manifesto"" untuk segera mengentaskan kemiskinan itu.
Tugas itu tentu saja tidak hanya menjadi tanggungjawab negara yang memang semestinya demikian. Tetapi juga seluruh elemen masyarakat, lembaga-lembaga sosial, termasuk di dalamnya lembaga keagamaan. Lalu bagaimana agama merespons dan menyikapi hantu sosial (kemiskinan) itu?
Dalam realitasnya, situasi seperti itu ternyata menggugat kaum beriman agama-agama dunia. Buku ini adalah salah satu bukti nyata yang ditulis oleh Michael Taylor, seorang profesor dalam bidang ilmu Teologi Sosial di Universitas Birmingham. Ditulis berdasarkan pergulatan pribadi berkat pengalaman langsung hidup bersama kaum miskin dengan segala kompleksitasnya.
Taylor yang telah bergelut dalam kemiskinan selama 12 tahun menginginkan keluar dari sebab akibat kemiskinan yang telah banyak diketahui. Sebagai direktur Christian Aid yang menghadapi langsung masalah kemiskinan dunia, ia mengambil sisi narasi spiritualitas untuk membedah kemiskinan. Keadaan yang memprihatinkan di Rwanda sebagai contoh jelas bahwa komunitas miskin disana tidak mengenal sisi spiritualitas dalam diri. Sehingga, tidak ada istilah untuk menginginkan kehidupan yang lebih baik kedepan, tidak ada hasrat untuk bangkit dan lepas dari penderitaan.
Berbeda dengan para Teolog lain yang masih memperdebatkan kebenaran tentang pertobatan dan rekonsiliasi sebagai solusi. Taylor beranggapan hal ini membutuhkan adanya perubahan fundamental pada lingkungan yang berdamai. Sebab, tidak mudah bagi orang Rwanda untuk saling memaafkan dan menghargai satu sama lain serta menciptakan tali kerjasama dan persahabatan. Sedangkan pertobatan terkesan seperti tawar-menawar pengampunan ilahi atas siapa yang bersalah dari krisis yang terjadi (hal 14).
Dalam buku ini, Taylor memberi tawaran solutif dari penelusurannya dalam spiritualitas yang didalaminya, sembari mengamati keadaan yang memungkinkan untuk keluar dari kemiskinan. Setidaknya ada empat proses kreatif yang bisa dilakukan.
Pertama, keterlibatan dan partisipasi semua pihak terus dipraktikkan secara luas dalam berbagai lingkungan pembangunan. Konsep partisipasi yang dimaksud adalah membenarkan adanya penyerataan antara yang miskin dan yang kaya. Mereka semua merupakan orang-orang bijaksana yang berhak tahu tentang kehidupannya dan bagaimana mewujudkannya. Karena ketika tanggung jawab itu ada, maka motivasi akan muncul. Selain itu, partisipasi menyulutkan kepercayaan dan harga diri orang.
Kedua, belajar dari kasus kemiskinan, rasialisme dan ketidakadilan di Brazil, maka konfrontasi yang biasanya mempunyai nuansa negatif justru bisa disebut langkah kreatif. Ia bisa membuka tabir ketidakadilan yang secara perlahan namun pasti. Ketiga adalah solidaritas, yang dimaksudkan disini adalah solidaritas yang memadukan semua sisi.
Keempat adalah pengorbanan. Berangkat dari kisah Taylor ketika bertemu dengan Chico Mendes, sang pejuang penyadap karet yang tinggal di daerah Amazon. Ia menentang pemerintah dan tuan tanah yang berlaku tidak adil terhadap penyadap karet dari dalam dengan yang datang dari luar. Ia pun terbunuh. Namun kematian Chico Mendes justru membuka mata berbagai kalangan akan ketidakadilan yang terjadi di daerah tersebut.
Akhirnya, yang harus dipahami oleh pembaca adalah bahwa buku ini menceritakan penelusuran spiritualitas seorang teolog dalam melihat dan memberikan persoalan tentang kemiskinan. Dilengkapi dengan pengalaman-pengalamn langsung bergelut dengan kemiskinan, sehingga solusi yang Taylor tawarkan tampak bukan omong kosong belaka.
Menikmati buku ini terasa menimbulkan simpati sekaligus empati yang diharapkan akan melakukan tindakan nyata ketika menghadapi kemiskinan. Maka layaklah bila kita jadikan referensi untuk mencari jawaban persolan kemiskinan di negara kita.
Judul Buku : Dilarang Melarat, Narasi Teologis tentang kemiskinan.
(Judul asli Poverty and Christianity: Reflection at the Interface between faith and Experience)
Pengarang : Michael Taylor
Jumlah hlm : 259 halaman
Penerbit : Kanisius
Cetakan : I, Juni 2007
*) Alhimni Fahma, Pencinta buku, dan aktif di Bamboo Runcing Community Yogyakarta.
Oiya sedikit cerita ajaib tentang asal-usul tulisan saya termuat (tumben banget saya nulis resmi dan termuat). Kejadian itu tidak serta-merta teman, ketahuilah menulis resensi ini diawali oleh ajaran Sang Guru; Mas Ali Usman. Dengan dibantu beliau, dengan bimbingan yang saya terima naik-turun (naik-nya ada di Guru yg selalu semangat, dan turun-nya ada di saya yang emang dasar murid tipe males). Berkat editan beliau berkali-kali, akhirnya, ya akhirnya resensi ini dianggap laik dimuat (meski bukan media cetak), dan satu lagi kawan: imbalan gratis 2 buku yang boleh dipilih langsung di toko buku Kanisius!. Amboi...bahagia itu simpel kawan, ketika kita mendapatkan sesuatu yang bermanfaat dengan cara 6 huruf: GRATIS!
Well, enjoy reading..
Spiritualitas Kemiskinan
Alhimni Fahma *) (04/10/2007 - 11:57 WIB)
Jurnalnet.com (Jogja): Kemiskinan sering kita anggap sebagai permasalahan yang tidak bisa dicari penyebabnya dan tampak tidak bisa terselesaikan. Seandainya pun bisa, sangatlah sulit. Mari kita lihat di sekitar kita. Angka kemiskinan yang kian hari bertambah, semakin meyakinkan kalangan bahwa kemiskinan memang telah menjadi penyakit sosial yang mesti diatasi oleh semua kalangan.
Oleh sebagian kalangan, terjadinya kemiskinan itu merupakan imbas dari arus modernisasi. Modernisasi yang berlebihan itu telah menjadikan kehidupan modern saat ini demikian keras dan tidak bersahabat lagi bagi umat manusia. Akibatnya, salah satu indikasi yang paling nyata adalah semakin tampak adanya kesenjangan sosial berupa kelas-kelas dalam struktur masyarakat, antara masyarakat miskin dengan yang kaya.
Dalam kondisi demikian, situasi masyarakat yang sedang mengalami kelaparan (karena miskin itu) dengan orang yang merasa kekenyangan karena limpahan harta, semakin menganga dalam kehidupan nyata sehari-hari kita. Ditambah lagi, solidaritas antara sesama (telah) semakin pudar di sanubari setiap insan.
Karenanya, tak salah bila Peter L. Berger (1982) melukiskan manusia modern mengalamai anomie, yaitu suatu keadaan di mana setiap individu manusia kehilangan ikatan yang memberikan perasaan aman dan kemantapan dengan sesam manusia lainnya, sehingga menyebabkan kehilangan pengertian yang memberikan petunjuk tentang tujuan dan arti kehidupan di dunia ini.
Diakui bersama, bahwa kemiskinan menjadi problem sosial yang menimpa masyarakat di seluruh dunia. Di negara-negara berkembang seperti Indonesia, persoalan kemiskinan telah lama menjadi "momok", dan karenanya sudah sejak lama pula memunculkan semacam "manifesto"" untuk segera mengentaskan kemiskinan itu.
Tugas itu tentu saja tidak hanya menjadi tanggungjawab negara yang memang semestinya demikian. Tetapi juga seluruh elemen masyarakat, lembaga-lembaga sosial, termasuk di dalamnya lembaga keagamaan. Lalu bagaimana agama merespons dan menyikapi hantu sosial (kemiskinan) itu?
Dalam realitasnya, situasi seperti itu ternyata menggugat kaum beriman agama-agama dunia. Buku ini adalah salah satu bukti nyata yang ditulis oleh Michael Taylor, seorang profesor dalam bidang ilmu Teologi Sosial di Universitas Birmingham. Ditulis berdasarkan pergulatan pribadi berkat pengalaman langsung hidup bersama kaum miskin dengan segala kompleksitasnya.
Taylor yang telah bergelut dalam kemiskinan selama 12 tahun menginginkan keluar dari sebab akibat kemiskinan yang telah banyak diketahui. Sebagai direktur Christian Aid yang menghadapi langsung masalah kemiskinan dunia, ia mengambil sisi narasi spiritualitas untuk membedah kemiskinan. Keadaan yang memprihatinkan di Rwanda sebagai contoh jelas bahwa komunitas miskin disana tidak mengenal sisi spiritualitas dalam diri. Sehingga, tidak ada istilah untuk menginginkan kehidupan yang lebih baik kedepan, tidak ada hasrat untuk bangkit dan lepas dari penderitaan.
Berbeda dengan para Teolog lain yang masih memperdebatkan kebenaran tentang pertobatan dan rekonsiliasi sebagai solusi. Taylor beranggapan hal ini membutuhkan adanya perubahan fundamental pada lingkungan yang berdamai. Sebab, tidak mudah bagi orang Rwanda untuk saling memaafkan dan menghargai satu sama lain serta menciptakan tali kerjasama dan persahabatan. Sedangkan pertobatan terkesan seperti tawar-menawar pengampunan ilahi atas siapa yang bersalah dari krisis yang terjadi (hal 14).
Dalam buku ini, Taylor memberi tawaran solutif dari penelusurannya dalam spiritualitas yang didalaminya, sembari mengamati keadaan yang memungkinkan untuk keluar dari kemiskinan. Setidaknya ada empat proses kreatif yang bisa dilakukan.
Pertama, keterlibatan dan partisipasi semua pihak terus dipraktikkan secara luas dalam berbagai lingkungan pembangunan. Konsep partisipasi yang dimaksud adalah membenarkan adanya penyerataan antara yang miskin dan yang kaya. Mereka semua merupakan orang-orang bijaksana yang berhak tahu tentang kehidupannya dan bagaimana mewujudkannya. Karena ketika tanggung jawab itu ada, maka motivasi akan muncul. Selain itu, partisipasi menyulutkan kepercayaan dan harga diri orang.
Kedua, belajar dari kasus kemiskinan, rasialisme dan ketidakadilan di Brazil, maka konfrontasi yang biasanya mempunyai nuansa negatif justru bisa disebut langkah kreatif. Ia bisa membuka tabir ketidakadilan yang secara perlahan namun pasti. Ketiga adalah solidaritas, yang dimaksudkan disini adalah solidaritas yang memadukan semua sisi.
Keempat adalah pengorbanan. Berangkat dari kisah Taylor ketika bertemu dengan Chico Mendes, sang pejuang penyadap karet yang tinggal di daerah Amazon. Ia menentang pemerintah dan tuan tanah yang berlaku tidak adil terhadap penyadap karet dari dalam dengan yang datang dari luar. Ia pun terbunuh. Namun kematian Chico Mendes justru membuka mata berbagai kalangan akan ketidakadilan yang terjadi di daerah tersebut.
Akhirnya, yang harus dipahami oleh pembaca adalah bahwa buku ini menceritakan penelusuran spiritualitas seorang teolog dalam melihat dan memberikan persoalan tentang kemiskinan. Dilengkapi dengan pengalaman-pengalamn langsung bergelut dengan kemiskinan, sehingga solusi yang Taylor tawarkan tampak bukan omong kosong belaka.
Menikmati buku ini terasa menimbulkan simpati sekaligus empati yang diharapkan akan melakukan tindakan nyata ketika menghadapi kemiskinan. Maka layaklah bila kita jadikan referensi untuk mencari jawaban persolan kemiskinan di negara kita.
Judul Buku : Dilarang Melarat, Narasi Teologis tentang kemiskinan.
(Judul asli Poverty and Christianity: Reflection at the Interface between faith and Experience)
Pengarang : Michael Taylor
Jumlah hlm : 259 halaman
Penerbit : Kanisius
Cetakan : I, Juni 2007
*) Alhimni Fahma, Pencinta buku, dan aktif di Bamboo Runcing Community Yogyakarta.
July 06, 2011
Respect
Sebenarnya, ini adalah cerita kekesalan saya. Dan saya mengawalinya dengan prolog yang (akhirnya) harus saya potong karena saking tak ada nyambung-nyambungnya dengan paragraph di bawahnya. Saya sempat stuck bagaimana mengawalinya dengan menempel prolog untuk cerita kesal seperti ini. Namun akhirnya saya tulis saja semuanya dengan mengalir.
Di paragraph yang saat ini kalian baca, saya hendak menceritakan miscelleous thought yang sedang menghampiri saya saat ini. Ada banyak macam-macam, salah satunya saya mau ceritain orang yang sering saya temui duduk di tangga jembatan penyebrangan. Disinilah awal kekesalan saya bermuara. Sebenarnya bukan juga disebut kekesalan, mungkin tepatnya ketidaknyamanan. Yang seharusnya A, kenapa jadi R?.
Bapak yang duduk di tangga jembatan penyebrangan itu tak tampak tua, (maaf) cacatpun juga tidak. Senjata utama dia adalah sapu ijuk yang menjauhi ukuran sapu ijuk normal (karena panjangnya cuma separuh dari lengan orang dewasa). Dengan senjata yang ia genggam itu sembari duduk di anak tangga sungguh sangat menyusahkan jalur pengguna tangga (di kota ini macet pun tak hanya di jalan, bahkan di jembatan penyebrangan pun disabotase macet oleh orang ini).
Apa pekerjaannya? Ia menunggu orang yang melewatinya untuk memberikan uang receh. Apa dia pengemis? Tidak, dia cuma berpura-pura telah mengumpulkan sebagian sampah di tangga itu. Untuk apa coba? Supaya pengguna tangga penyebrangan di situ nyaman dengan tidak adanya sampah berserakan. For God’s shake! Jujur dalam hati, saya benar-benar tidak butuh jasa anda wahai bapak yang budiman. Karena saya cukup tahu bahwa jika anda absen (gak lagi nongkrong di tangga tersebut) tidak ada sampah-sampah yang berserakan. Kalaupun ada, tak sebanyak jika anda hadir dan menduduki singgasana itu. Jadi apa ini rekayasa anda juga wahai bapak yang budiman? Oh Jhon Pantau, saya butuh bantuanmu untuk menginterogasi orang satu ini.
Masih banyak cara-cara yang lebih terhormat mencari uang daripada duduk di anak tangga jembatan penyebrangan yang membuat kami pengakses area tersebut menjadi tak nyaman. Sekalipun saya pengguna aktif jembatan penyebrangan itu, saya tidak akan berniat memberikan uang receh padanya (ini semacam efek ketidaknyamanan saya, seolah-olah jika lewat situ, kita harus membayar pajak padanya dengan memberi uang receh).
Entah mengapa rasa respect saya terhadap orang-orang macam ini hampir tak ada sama sekali. Saya lebih respect terhadap orang yang mau berusaha keras dengan segala kelebihan yang Tuhan karuniakan padanya meski dengan keterbatasan fisik yang ada. Seperti seorang bapak yang cacat kaki dan tangan, ia masih berjuang untuk menafkahi keluarganya dengan berkarya di Betawian (semacam ketoprak kalau versi jawatimuran). Recently i watched its show in TVRI. And I’m apparently comparing both.
Tiba-tiba saya begitu cerewet sekali dalam hal ini, dan saya baru menyadarinya. Saya banyak menggerutu akan keadaan yang semestinya harus sesuai dengan yang saya inginkan. Saya jengah dengan keadaan bangsa yang tak kunjung sembuh dari penyakit akutnya. Saya menjadi sinis jika harus dihadapkan dengan berita sehari-sehari yang cenderung negative tentang bangsa ini. Kondisi wakil-wakil rakyat kami yang tak berhenti menjadi gila. Saya berharap wakil-wakil rakyat yang tak punya higher-self menjadi sadar untuk menatap rakyat, untuk lebih respect kepada ‘siapa’ yang dulunya telah memilih mereka untuk duduk di gedung kura-kura itu, untuk tak merampas duit rakyat. Sehingga tak ada lagi mental-mental ‘kalah’ dari sebagian kami sebelum ‘bertanding’. Semoga bapak yang berada di tangga penyebrangan GOR Sumantri itu bisa mendapatkan pekerjaan yang mendayagunakan total kemampuannya.
Di paragraph yang saat ini kalian baca, saya hendak menceritakan miscelleous thought yang sedang menghampiri saya saat ini. Ada banyak macam-macam, salah satunya saya mau ceritain orang yang sering saya temui duduk di tangga jembatan penyebrangan. Disinilah awal kekesalan saya bermuara. Sebenarnya bukan juga disebut kekesalan, mungkin tepatnya ketidaknyamanan. Yang seharusnya A, kenapa jadi R?.
Bapak yang duduk di tangga jembatan penyebrangan itu tak tampak tua, (maaf) cacatpun juga tidak. Senjata utama dia adalah sapu ijuk yang menjauhi ukuran sapu ijuk normal (karena panjangnya cuma separuh dari lengan orang dewasa). Dengan senjata yang ia genggam itu sembari duduk di anak tangga sungguh sangat menyusahkan jalur pengguna tangga (di kota ini macet pun tak hanya di jalan, bahkan di jembatan penyebrangan pun disabotase macet oleh orang ini).
Apa pekerjaannya? Ia menunggu orang yang melewatinya untuk memberikan uang receh. Apa dia pengemis? Tidak, dia cuma berpura-pura telah mengumpulkan sebagian sampah di tangga itu. Untuk apa coba? Supaya pengguna tangga penyebrangan di situ nyaman dengan tidak adanya sampah berserakan. For God’s shake! Jujur dalam hati, saya benar-benar tidak butuh jasa anda wahai bapak yang budiman. Karena saya cukup tahu bahwa jika anda absen (gak lagi nongkrong di tangga tersebut) tidak ada sampah-sampah yang berserakan. Kalaupun ada, tak sebanyak jika anda hadir dan menduduki singgasana itu. Jadi apa ini rekayasa anda juga wahai bapak yang budiman? Oh Jhon Pantau, saya butuh bantuanmu untuk menginterogasi orang satu ini.
Masih banyak cara-cara yang lebih terhormat mencari uang daripada duduk di anak tangga jembatan penyebrangan yang membuat kami pengakses area tersebut menjadi tak nyaman. Sekalipun saya pengguna aktif jembatan penyebrangan itu, saya tidak akan berniat memberikan uang receh padanya (ini semacam efek ketidaknyamanan saya, seolah-olah jika lewat situ, kita harus membayar pajak padanya dengan memberi uang receh).
Entah mengapa rasa respect saya terhadap orang-orang macam ini hampir tak ada sama sekali. Saya lebih respect terhadap orang yang mau berusaha keras dengan segala kelebihan yang Tuhan karuniakan padanya meski dengan keterbatasan fisik yang ada. Seperti seorang bapak yang cacat kaki dan tangan, ia masih berjuang untuk menafkahi keluarganya dengan berkarya di Betawian (semacam ketoprak kalau versi jawatimuran). Recently i watched its show in TVRI. And I’m apparently comparing both.
Tiba-tiba saya begitu cerewet sekali dalam hal ini, dan saya baru menyadarinya. Saya banyak menggerutu akan keadaan yang semestinya harus sesuai dengan yang saya inginkan. Saya jengah dengan keadaan bangsa yang tak kunjung sembuh dari penyakit akutnya. Saya menjadi sinis jika harus dihadapkan dengan berita sehari-sehari yang cenderung negative tentang bangsa ini. Kondisi wakil-wakil rakyat kami yang tak berhenti menjadi gila. Saya berharap wakil-wakil rakyat yang tak punya higher-self menjadi sadar untuk menatap rakyat, untuk lebih respect kepada ‘siapa’ yang dulunya telah memilih mereka untuk duduk di gedung kura-kura itu, untuk tak merampas duit rakyat. Sehingga tak ada lagi mental-mental ‘kalah’ dari sebagian kami sebelum ‘bertanding’. Semoga bapak yang berada di tangga penyebrangan GOR Sumantri itu bisa mendapatkan pekerjaan yang mendayagunakan total kemampuannya.
Subscribe to:
Posts (Atom)