“Terus
kenapa emang kalo umur segini-ini kita masih lajang?” – a friend of mine talks
to the life.
Selain
digunakan sesuai lima fungsi normalnya, saya kok agak skeptis menilai panca
indera manusia yang ke enam. Jangan-jangan selain melihat roh halus, juga bisa
mendeteksi secara tak kasat mata siapa belum punya pacar, siapa belum bisa
menikah, dan siapa yang masih lajang?. Manusia itu makhluk paling kepo
memang, terutama ketika Bulan Haji tiba.
Pertanyaan
yang paling sering dilontarkan manusia kepo adalah tanya kabar. Jangan keburu
senang, ini pertanyaan pancingan yang akan dilanjutkan dengan ledekan maksimal.
Jangan terburu nafsu untuk membantai dengan jawaban berbau emosi. Tahan dulu,
atur permainan. Karena sebenarnya ini adalah bagian dari cobaan terberat kaum
lajang.
“Elu
apa kabar? Bulan Haji banyak yang nikah lho #FYI aja”.
“Eh
gue kabarnya baik kok, sangat baik. Bahkan gue kemarin habis kondangan sepuluh
kali berturut-turut”.
“Ya
ampun, elu yang sabar ya” (*jangan percaya, apalagi terharu, gak perlu dibalas.
Dibalik kalimat sok perhatian ini, pasti teman kamu disana ngetawain kamu
habis-habisan).
“Iya,
siapa lagi yang mau nikah sini, amplop gue masih sisa-sisa”.
Kalau
cuma urusan balas membalas sebenarnya kaum lajang masih bisa lebih keji. Tapi
seperti biasa, pilihan menjadi lebih classy dan elegan itu adalah
keharusan. Satu hal lagi, sering berbicara dengan sesama lajang itu memberi
kita banyak option jawaban. Seperti berbagi dunia istilahnya. Teman saya
adalah tempat sampah saya yang sejati. Kami berbagi dunia ngehek bersama-sama.
Kami mengomentari lelaki A-Z, tipikal cowok A-Z, perilaku menyimpang kaum adam
dari A-Z, bebas tak terkendali, tanpa halangan.
Kami
membicarakan hal-hal terpenting dalam hidup (versi kami). Biasanya pembicaraan
malam selepas kerja dimulai dari bola, berat badan, isu korupsi, politik 2014
(yang ini jangan percaya, cuma pengalihan saja. Haha) sampai urusan rumah
tangga (nanti kalau udah nemu pasangan). We talked and talked a lot, sampai saya
tahu bahwa teman saya ini hidupnya dua level lebih enjoy menikmati hidup di
atas saya (dengan melajang tentunya). Padahal umur dia lebih tua dibanding
saya. (Eits, apakah saya baru saja bilang vocab yang paling mainstream? T-U-A).
Kita akhirnya bilang “age doesn’t matter, as long as we’re happy, so what’s
the matter then?”.
Tapi
kan perempuan, tapi kan...
Ya..ya...saya mengerti.
We
know that, we deeply understand that we have to deliver baby, we need to laying our days by spouse, we have to..we have to blah blah blah… Tapi apa
iya kita menikah cuma buat melengkapi hidup? Kok kayak-kayak hidup kita miserable
banget tanpa pasangan. Apa iya kita menikah karna mendidih kepanasan gegara
teman sebaya rame-rame nikah di Bulan Haji?. Kok kayaknya engga gitu juga kali
ya. Apa iya kita menikah karena udah target di umur sekian kudu menikah? Kok
tega sih meng-alarm hidup kita sendiri cuma buat urusan dapetin pasangan.
Ya maksud
saya namanya lajang, pastilah ada usahanya. Menurut L? H-e-l-l-o! apa tampang kita gak ada usahanya gitu?. Jangan
salah, kita udah kenyang gebet sana-sini Hahaha. Kita juga udah kenyang membuat
mantan ngemis-ngemis minta balikan lagi ke kita. Kita juga udah sering jadi
pion-pion orang tua kita buat diketemuin sama anak si A, anak si B. Apa namanya
coba kalau usaha kita masih belum ada jalan yang terang?. Apa cobaaaaaa???
Yang Punya Alam
Semesta masih belum ngijinin. Udah sih, gitu aja repot amat. Urusan
manusia-manusia kepo sama nyinyir yang saling bersahutan, anggep ajalah ada
yang nawarin panci kredit. Tinggal tutup pintu, Jebret! Ahay! Selesai Pemirsa!.
Dari
sini saya menyadari, hidup seimbang itu memang perlu. Saat ini kita mungkin
dikasih waktu banyak bersahabat dengan teman-teman gokil kita dulu. Lain waktu,
kalau sudah menikah siapa tahu kita
tidak punya waktu berhaha-hihi dengan sahabat kita. Siapa tahu kita disibukkan
dengan urusan ganti popok bayi daripada ngeladenin curhatan sahabat di pagi
buta. Siapa tahu kita gak bisa rock and roll kayak gini lagi.
Marriage
is only the occasion; the matter is how to permeate your life with whom next to
you right now. We
don’t ever know whom we’ll end up with.
--Kim--
PS: Ditulis untuk ikutan lomba curhat di penerbit. Uda ngirimnya telat, ga lolos pun. Hihihi they just don't meet the soul of my curcol. (Sombong!)