Try to search for The Things?

July 08, 2011

Resensi: Dilarang Melarat, Narasi Teologis Tentang Kemiskinan

Dalam rangka ikut2an teman yg mempublikasikan karya yg sudah dimuat di media, bolehlah kiranya saya juga mempublish karya resensi saya yg termuat di jurnal resmi Kanisius. Tak ada niatan resmi untuk ini sih, selain 1) Karena ikut2an teman yang juga mempublish karya mereka, dan 2)Menyemangati diri supaya tulisan selanjutnya ada yang termuat lagi. Padahal tulisan ini pun juga termuat tahun 111 sebelum Masehi (Antara malu, tapi tetep aja diposting).

Oiya sedikit cerita ajaib tentang asal-usul tulisan saya termuat (tumben banget saya nulis resmi dan termuat). Kejadian itu tidak serta-merta teman, ketahuilah menulis resensi ini diawali oleh ajaran Sang Guru; Mas Ali Usman. Dengan dibantu beliau, dengan bimbingan yang saya terima naik-turun (naik-nya ada di Guru yg selalu semangat, dan turun-nya ada di saya yang emang dasar murid tipe males). Berkat editan beliau berkali-kali, akhirnya, ya akhirnya resensi ini dianggap laik dimuat (meski bukan media cetak), dan satu lagi kawan: imbalan gratis 2 buku yang boleh dipilih langsung di toko buku Kanisius!. Amboi...bahagia itu simpel kawan, ketika kita mendapatkan sesuatu yang bermanfaat dengan cara 6 huruf: GRATIS!
Well, enjoy reading..

Spiritualitas Kemiskinan

Alhimni Fahma *) (04/10/2007 - 11:57 WIB)

Jurnalnet.com (Jogja): Kemiskinan sering kita anggap sebagai permasalahan yang tidak bisa dicari penyebabnya dan tampak tidak bisa terselesaikan. Seandainya pun bisa, sangatlah sulit. Mari kita lihat di sekitar kita. Angka kemiskinan yang kian hari bertambah, semakin meyakinkan kalangan bahwa kemiskinan memang telah menjadi penyakit sosial yang mesti diatasi oleh semua kalangan.

Oleh sebagian kalangan, terjadinya kemiskinan itu merupakan imbas dari arus modernisasi. Modernisasi yang berlebihan itu telah menjadikan kehidupan modern saat ini demikian keras dan tidak bersahabat lagi bagi umat manusia. Akibatnya, salah satu indikasi yang paling nyata adalah semakin tampak adanya kesenjangan sosial berupa kelas-kelas dalam struktur masyarakat, antara masyarakat miskin dengan yang kaya.

Dalam kondisi demikian, situasi masyarakat yang sedang mengalami kelaparan (karena miskin itu) dengan orang yang merasa kekenyangan karena limpahan harta, semakin menganga dalam kehidupan nyata sehari-hari kita. Ditambah lagi, solidaritas antara sesama (telah) semakin pudar di sanubari setiap insan.

Karenanya, tak salah bila Peter L. Berger (1982) melukiskan manusia modern mengalamai anomie, yaitu suatu keadaan di mana setiap individu manusia kehilangan ikatan yang memberikan perasaan aman dan kemantapan dengan sesam manusia lainnya, sehingga menyebabkan kehilangan pengertian yang memberikan petunjuk tentang tujuan dan arti kehidupan di dunia ini.

Diakui bersama, bahwa kemiskinan menjadi problem sosial yang menimpa masyarakat di seluruh dunia. Di negara-negara berkembang seperti Indonesia, persoalan kemiskinan telah lama menjadi "momok", dan karenanya sudah sejak lama pula memunculkan semacam "manifesto"" untuk segera mengentaskan kemiskinan itu.

Tugas itu tentu saja tidak hanya menjadi tanggungjawab negara yang memang semestinya demikian. Tetapi juga seluruh elemen masyarakat, lembaga-lembaga sosial, termasuk di dalamnya lembaga keagamaan. Lalu bagaimana agama merespons dan menyikapi hantu sosial (kemiskinan) itu?

Dalam realitasnya, situasi seperti itu ternyata menggugat kaum beriman agama-agama dunia. Buku ini adalah salah satu bukti nyata yang ditulis oleh Michael Taylor, seorang profesor dalam bidang ilmu Teologi Sosial di Universitas Birmingham. Ditulis berdasarkan pergulatan pribadi berkat pengalaman langsung hidup bersama kaum miskin dengan segala kompleksitasnya.

Taylor yang telah bergelut dalam kemiskinan selama 12 tahun menginginkan keluar dari sebab akibat kemiskinan yang telah banyak diketahui. Sebagai direktur Christian Aid yang menghadapi langsung masalah kemiskinan dunia, ia mengambil sisi narasi spiritualitas untuk membedah kemiskinan. Keadaan yang memprihatinkan di Rwanda sebagai contoh jelas bahwa komunitas miskin disana tidak mengenal sisi spiritualitas dalam diri. Sehingga, tidak ada istilah untuk menginginkan kehidupan yang lebih baik kedepan, tidak ada hasrat untuk bangkit dan lepas dari penderitaan.

Berbeda dengan para Teolog lain yang masih memperdebatkan kebenaran tentang pertobatan dan rekonsiliasi sebagai solusi. Taylor beranggapan hal ini membutuhkan adanya perubahan fundamental pada lingkungan yang berdamai. Sebab, tidak mudah bagi orang Rwanda untuk saling memaafkan dan menghargai satu sama lain serta menciptakan tali kerjasama dan persahabatan. Sedangkan pertobatan terkesan seperti tawar-menawar pengampunan ilahi atas siapa yang bersalah dari krisis yang terjadi (hal 14).

Dalam buku ini, Taylor memberi tawaran solutif dari penelusurannya dalam spiritualitas yang didalaminya, sembari mengamati keadaan yang memungkinkan untuk keluar dari kemiskinan. Setidaknya ada empat proses kreatif yang bisa dilakukan.

Pertama, keterlibatan dan partisipasi semua pihak terus dipraktikkan secara luas dalam berbagai lingkungan pembangunan. Konsep partisipasi yang dimaksud adalah membenarkan adanya penyerataan antara yang miskin dan yang kaya. Mereka semua merupakan orang-orang bijaksana yang berhak tahu tentang kehidupannya dan bagaimana mewujudkannya. Karena ketika tanggung jawab itu ada, maka motivasi akan muncul. Selain itu, partisipasi menyulutkan kepercayaan dan harga diri orang.

Kedua, belajar dari kasus kemiskinan, rasialisme dan ketidakadilan di Brazil, maka konfrontasi yang biasanya mempunyai nuansa negatif justru bisa disebut langkah kreatif. Ia bisa membuka tabir ketidakadilan yang secara perlahan namun pasti. Ketiga adalah solidaritas, yang dimaksudkan disini adalah solidaritas yang memadukan semua sisi.

Keempat adalah pengorbanan. Berangkat dari kisah Taylor ketika bertemu dengan Chico Mendes, sang pejuang penyadap karet yang tinggal di daerah Amazon. Ia menentang pemerintah dan tuan tanah yang berlaku tidak adil terhadap penyadap karet dari dalam dengan yang datang dari luar. Ia pun terbunuh. Namun kematian Chico Mendes justru membuka mata berbagai kalangan akan ketidakadilan yang terjadi di daerah tersebut.

Akhirnya, yang harus dipahami oleh pembaca adalah bahwa buku ini menceritakan penelusuran spiritualitas seorang teolog dalam melihat dan memberikan persoalan tentang kemiskinan. Dilengkapi dengan pengalaman-pengalamn langsung bergelut dengan kemiskinan, sehingga solusi yang Taylor tawarkan tampak bukan omong kosong belaka.

Menikmati buku ini terasa menimbulkan simpati sekaligus empati yang diharapkan akan melakukan tindakan nyata ketika menghadapi kemiskinan. Maka layaklah bila kita jadikan referensi untuk mencari jawaban persolan kemiskinan di negara kita.

Judul Buku : Dilarang Melarat, Narasi Teologis tentang kemiskinan.
(Judul asli Poverty and Christianity: Reflection at the Interface between faith and Experience)
Pengarang : Michael Taylor
Jumlah hlm : 259 halaman
Penerbit : Kanisius
Cetakan : I, Juni 2007
*) Alhimni Fahma, Pencinta buku, dan aktif di Bamboo Runcing Community Yogyakarta.

2 comments:

Ajeng Sari Rahayu said...

aku berkayal ya Kim "Apa buku ini-mungkin sampai ke tangan para pejabat negara dan juga kongsi-kongsinya? Juga ke para konglomerat berduit?"

jarang sekali orang yang mau hidup miskin, tapi Taylor melakukannya agar supaya kemiskinan bisa diberantas. banyak hal yang perlu dibenahi ternyata. selamat ya Kimmi, maaf telat banget kan baru tahu setelah kamu publish :D

Kim said...

hehehe....seharusnya sih nyampe ke mereka. aduh bu..malu dikasi ucapan, jadul kali dimuatnya tahun gajah ni tulisan. tp thx anyway.

Follow