Try to search for The Things?

July 06, 2011

Respect

Sebenarnya, ini adalah cerita kekesalan saya. Dan saya mengawalinya dengan prolog yang (akhirnya) harus saya potong karena saking tak ada nyambung-nyambungnya dengan paragraph di bawahnya. Saya sempat stuck bagaimana mengawalinya dengan menempel prolog untuk cerita kesal seperti ini. Namun akhirnya saya tulis saja semuanya dengan mengalir.

Di paragraph yang saat ini kalian baca, saya hendak menceritakan miscelleous thought yang sedang menghampiri saya saat ini. Ada banyak macam-macam, salah satunya saya mau ceritain orang yang sering saya temui duduk di tangga jembatan penyebrangan. Disinilah awal kekesalan saya bermuara. Sebenarnya bukan juga disebut kekesalan, mungkin tepatnya ketidaknyamanan. Yang seharusnya A, kenapa jadi R?.

Bapak yang duduk di tangga jembatan penyebrangan itu tak tampak tua, (maaf) cacatpun juga tidak. Senjata utama dia adalah sapu ijuk yang menjauhi ukuran sapu ijuk normal (karena panjangnya cuma separuh dari lengan orang dewasa). Dengan senjata yang ia genggam itu sembari duduk di anak tangga sungguh sangat menyusahkan jalur pengguna tangga (di kota ini macet pun tak hanya di jalan, bahkan di jembatan penyebrangan pun disabotase macet oleh orang ini).

Apa pekerjaannya? Ia menunggu orang yang melewatinya untuk memberikan uang receh. Apa dia pengemis? Tidak, dia cuma berpura-pura telah mengumpulkan sebagian sampah di tangga itu. Untuk apa coba? Supaya pengguna tangga penyebrangan di situ nyaman dengan tidak adanya sampah berserakan. For God’s shake! Jujur dalam hati, saya benar-benar tidak butuh jasa anda wahai bapak yang budiman. Karena saya cukup tahu bahwa jika anda absen (gak lagi nongkrong di tangga tersebut) tidak ada sampah-sampah yang berserakan. Kalaupun ada, tak sebanyak jika anda hadir dan menduduki singgasana itu. Jadi apa ini rekayasa anda juga wahai bapak yang budiman? Oh Jhon Pantau, saya butuh bantuanmu untuk menginterogasi orang satu ini.

Masih banyak cara-cara yang lebih terhormat mencari uang daripada duduk di anak tangga jembatan penyebrangan yang membuat kami pengakses area tersebut menjadi tak nyaman. Sekalipun saya pengguna aktif jembatan penyebrangan itu, saya tidak akan berniat memberikan uang receh padanya (ini semacam efek ketidaknyamanan saya, seolah-olah jika lewat situ, kita harus membayar pajak padanya dengan memberi uang receh).

Entah mengapa rasa respect saya terhadap orang-orang macam ini hampir tak ada sama sekali. Saya lebih respect terhadap orang yang mau berusaha keras dengan segala kelebihan yang Tuhan karuniakan padanya meski dengan keterbatasan fisik yang ada. Seperti seorang bapak yang cacat kaki dan tangan, ia masih berjuang untuk menafkahi keluarganya dengan berkarya di Betawian (semacam ketoprak kalau versi jawatimuran). Recently i watched its show in TVRI. And I’m apparently comparing both.

Tiba-tiba saya begitu cerewet sekali dalam hal ini, dan saya baru menyadarinya. Saya banyak menggerutu akan keadaan yang semestinya harus sesuai dengan yang saya inginkan. Saya jengah dengan keadaan bangsa yang tak kunjung sembuh dari penyakit akutnya. Saya menjadi sinis jika harus dihadapkan dengan berita sehari-sehari yang cenderung negative tentang bangsa ini. Kondisi wakil-wakil rakyat kami yang tak berhenti menjadi gila. Saya berharap wakil-wakil rakyat yang tak punya higher-self menjadi sadar untuk menatap rakyat, untuk lebih respect kepada ‘siapa’ yang dulunya telah memilih mereka untuk duduk di gedung kura-kura itu, untuk tak merampas duit rakyat. Sehingga tak ada lagi mental-mental ‘kalah’ dari sebagian kami sebelum ‘bertanding’. Semoga bapak yang berada di tangga penyebrangan GOR Sumantri itu bisa mendapatkan pekerjaan yang mendayagunakan total kemampuannya.

4 comments:

Ajeng Sari Rahayu said...

Amin yaa Rabbal'alamin.
Memang sih, kalau kita tahu, niat baik kita disalahgunakan orang lain seperti bapak di jembatan itu, bisa buat kita sedih bahkan jengkel. Kalau aku Kim, aku jengkel2 nggak tuh pas ada orang dateng minta sumbangan ke rumah, dengan membawa amplop yang isinya keterangan pembangunan Masjid. Nanti kalau ditanya rada gelagapan, itu yang buat sedih juga. Trus ada lagi minta sumbangan tapi pake motor, motornya ditinggal sedikit jauh jaraknya dari rumahku pas si bapak minta sumbangan. apa itu nggak konyol? kenapa mesti ngumpet2in motornya?? yah, semoga generasi muda sekarang nggak ada yang kapok kalo mau jadi wakil rakyat, karena melihat hal2 negatif yang ada di pemerintah. tapi semoga, kita dan semua mau ikut berperan dalam memperbaiki moral bangsa ini.

Kim said...

Bu Ajeng, kelihatannya km jengkel juga ya kaya saya. ya begitulah kondisi saat ini. i go with you Ajeng on ur comment.

Ajeng Sari Rahayu said...

ya jengkel-jengkel ndak bu Kimmi. lha soale katane mbakku, kalo ada yang minta sumbangan dikasih aja, biar aja dia berdusta atau apa nanti kan ada aja perhitungannya, aku sih owh gitu ya mbak... makanya jengkel2 nggak, ahh mesakno sakjane ^^

Kim said...

iya ya...kasih aja kalo emang dia maksa. #lho!

Follow