Try to search for The Things?

January 11, 2012

Tansen dan Saya

Malam ini saya membaca Madre tuntas, di waktu yang sangat tepat-saat perut keroncongan. Alhasil keesokan paginya saya memburu toko roti disamping kantor, menikmatinya sebagai sarapan dengan pikiran seolah-olah menjadi Mei Tanuwidjaja yang menikmati roti klasik buatan Tansen.

Sekian drama saya tentang roti dan Madre.

Ada hal lain yang ingin saya ceritakan. Saya dan Tansen-Saya dan Jakarta. Saya mendadak mengiyakan ucapan Tansen yang berjanji selalu meluangkan waktu bercerita di blognya. Tentang Bali yang menjadi kampung yang diakuinya, lalu secara kebetulan Jakarta meralatnya sebagai kampung akarnya. Itu cerita Tansen.

Cerita saya dimulai kurang lebih setahun lalu. Saya mengambil tawaran pekerjaan ini ketika sedang mengambil kursus Bahasa Perancis di kota yang sudah lima tahun saya huni. Saya sedang membungkus harapan untuk bisa mempelajari bahasa yang pelafalannya paling aneh dan sulit ini. Dan selalu, kota lima tahunku ini hanya menjadi pilihan kedua dibandingkan kota yang menyebut dirinya Metropolitan. You mind, make Jakarta to be next town I live in was not my precious glance in my life map. Jadi saya ikuti saja plot ini meski tak pernah terbersit di pikiran saya untuk hidup dan menghidupi  Batavia.

My boss has a bless talent of writing. He writes everything regarding to humanity, culture, and economy. Dia rajin menulis. Saya rasa memang kewajibannya untuk mengisi kolom di beberapa surat kabar nasional dan luar negeri. Dalam seminggu ia harus membuat 4-5 artikel. Bayangkan betapa ia harus menguras otaknya ya untuk hal ini?. Tapi saya salah, karena ia tak terkuras apa-apa, malah itu menjadi semangat anti-redupnya untuk terus menggali ide, mengamati, dan banyak membaca. Ya, setidaknya itu menurut saya.

Ironis sekali ya tiba-tiba kalau pertalian ini harus saya belokkan kepada orang yang sedang membuat postingan ini. Bekerja pada seorang kolumnis, tapi malas menulis (even in a blog).

Dan kali ini saya sudah mulai merasa kehidupan saya berubah sekejap. Bekerja dengannya dalam hitungan bulan, saya yang sebelumnya tak sedikitpun berkeinginan untuk berinteraksi dengan “orang-orang penting”, harus kecemplung di dalam circle itu. Hari-hari saya sebelum datang ke kota metropole ini sederhana, longgar. Sekarang mendadak makin sesak.

Dulu yang hanya melihat orang-orang penting seperti governor atau mayor di siaran televisi atau koran, sekarang berinteraksi langsung. Dulu yang hanya familiar mendengar nama ‘orang itu’ disebut-sebut, sekarang harus kontak-kontakan langsung. Semua serba langsung, berjejal, sekejap. Ini yang saya maksud sesak. Saya sepakat dengan apa yang ditulis Dee dalam cerpennya:

“Seperti banyak orang Jakarta yang kutemui, ia pun dijangkiti semacam keresahan yang khas, yang membuatnya berbicara cepat, bergerak cepat, dan saat duduk pun kakinya bergoyang-goyang seperti di atas pedal mesin jahit. Orang-orang Jakarta ini, mereka seperti selalu overdosis kafein.”

Ya, saya adalah salah-satunya yang memilih ciri paling awal dan paling akhir sebagai tabiat baru. Saya mulai terbiasa dengan semua itu. Dan kalian mau tau kenapa tabiat orang-orang Jakarta itu selalu nampak aneh-aneh? Karena mereka memang tidak punya jeda untuk mengambil “break” dari kesesakan itu. And recently, I don’t mind to be their follower.

Mengerikan!.


Itu saja yang sanggup saya ceritakan. Saya menyesal tidak segera menulis ketika harus menulis. Jadinya ya gini ini, sebulan cuma nongol satu postingan.



--Kimmi--



4 comments:

rabest said...

hmmm...sebegitu parahnya kah?

saya orang jakarta, kalo bisa dbilang seperti itu, hehe.. soalnya dari mbrojol sampe dewasa saya tinggal disana, walaupun lebih banyak tinggal di luar nya sih dari smp..

mungkin karena saya warga jakarta yang santai dan tidak kecemlung di lingkungan penting kayak gitu ya, jadi ndak begitu merasa sesak di dalamnya.. ^^

Kim said...

ya rabest, parah dan mengerikan deh kota ini!. :)

Nuel Lubis, Author "Misi Terakhir Rafael: Cinta Tak Pernah Pergi Jauh" said...

just pretend if you're being in recreation

M. Hudatullah said...

hmmm.. jadi penasaran, kerjanya dimana..

saia ke jakarta cuman berapa kali ya?? dan entah bagaimana ga ada keinginan tinggal dan kerja di sana.

Follow