Pulang ke rumah biasanya karena rindu pada hal-hal yang tidak bersifat substantif. Hal-hal remeh temeh yang menarik-narik jiwa raga. Ada jarak dan jenjang waktu yang menumbuhkan rindu. Termasuk saat kita rindu masakan Ibu, atau jajanan murahan seperti cilok dengan gerobak sepedanya yang selalu terparkir di halaman sekolah kita dulu. Tak pernah berpindah, seiiring dengan kuatnya ingatan tentang masa kecil.
Di penghujung tahun 2013, saya pulang ke Jember. Cuti 5 hari sudah saya kantongi. Kebetulan dapat tiket murah seharga kereta Bima jurusan Jakarta-Surabaya. Tentu saja tak mahal, karena jam keberangkatannya dipaskan ketika semua orang masih tertidur lelap. Ini akal-akalan maskapai penerbangan nomer kesekian, yang sialnya harus saya setujui karena kita juga diuntungkan. Pukul 2.30 AM pagi saya harus segera ke bandara, karena pesawat yang membawa saya ke Surabaya akan bertolak pukul 4 AM.
Subuh di udara |
Sesampai di rumah, setelah melewati jalanan Porong a.k.a kawasan lumpur Lapindo dan terpaan segarnya udara terminal Bungurasih Surabaya, saya disambut sama…patjar? Saya tersipu harus menjawab bukan, saya disambut sama hujan rintik-rintik. C’est parfait! Saya melonjak kegirangan, sumringah. Udah bener ini, hidup yang begini ini yang memang saya inginkan. Merantau lama dan jauh, lalu diam-diam menyimpan rindu, dan pulang untuk melepasnya. Aduh, bahasa saya ini lho ‘merantau’ udah mirip Zainudin aja yang harus ke Batavia sambil sesekali merindui Hayati. Haaaaayatiiiiiii.....!
Tapi sekarang, kalimat di atas yang dipertebal justru saya sangsikan keabsahannya. Percakapan seorang teman menggiring saya ke sebuah pertanyaan ontologis, "uuntuk apa perantauan ini kalau alasannya hanya untuk menjaring rindu?". Saya bisa mencari-cari jawaban lain dan berdalih sih, tapi sampai kapan.
Sebagai anak ragil (bungsu), saya memang tidak punya tanggungan apa-apa. Maksudnya, kakak-kakak saya sudah jadi seperti yang orangtua mau. Sedangkan saya memiliki banyak pilihan. Lalu, saya coba tengok kondisi orang tua yang sudah sepuh (tua). Asumsi awal versi seorang anak, saya masih punya orangtua yang (ternyata) masih mengharapkan semua anaknya untuk kembali. Ayah Ibu saya ini agak 'manja', ia selalu ingin dibutuhkan oleh anak-anaknya di hari tua nanti. Tahu apa saya tentang hari tua? ketika saya sekarang hanya berpikir enaknya jadi 'anak muda'?. Jadi baiklah saya putuskan untuk menurut, menuruti kata hati saya. Meski orangtua belum berkata, saya mengambil inisiatif.
Bukan hidup seperti yang dicetak tebal di atas yang terus saya jalani. Setiap perantauan butuh destinasi akhir. Setiap jalan punya ujung. Setiap permainan ada game over. Saya memilih jalan pulang. Bukan untuk game over dan mengalah, tapi justru lagi mengajukan tantangan, yang agak ngeri sih kalimatnya: "apa yang kamu bisa perbuat untuk kampung halaman?". Meski saya belum tahu saya mengerjakan apa nanti. Mmmm...mungkinkah saya akan ber(t)ani? Mengajak warga untuk melek kedaulatan pangan negeri kita? Haha...syedaaaaaappp.
Yeissara Amrouk (lovely nephew), Arini Rusyda (sister), and Me |
Tapi sekarang, kalimat di atas yang dipertebal justru saya sangsikan keabsahannya. Percakapan seorang teman menggiring saya ke sebuah pertanyaan ontologis, "uuntuk apa perantauan ini kalau alasannya hanya untuk menjaring rindu?". Saya bisa mencari-cari jawaban lain dan berdalih sih, tapi sampai kapan.
Sebagai anak ragil (bungsu), saya memang tidak punya tanggungan apa-apa. Maksudnya, kakak-kakak saya sudah jadi seperti yang orangtua mau. Sedangkan saya memiliki banyak pilihan. Lalu, saya coba tengok kondisi orang tua yang sudah sepuh (tua). Asumsi awal versi seorang anak, saya masih punya orangtua yang (ternyata) masih mengharapkan semua anaknya untuk kembali. Ayah Ibu saya ini agak 'manja', ia selalu ingin dibutuhkan oleh anak-anaknya di hari tua nanti. Tahu apa saya tentang hari tua? ketika saya sekarang hanya berpikir enaknya jadi 'anak muda'?. Jadi baiklah saya putuskan untuk menurut, menuruti kata hati saya. Meski orangtua belum berkata, saya mengambil inisiatif.
Bukan hidup seperti yang dicetak tebal di atas yang terus saya jalani. Setiap perantauan butuh destinasi akhir. Setiap jalan punya ujung. Setiap permainan ada game over. Saya memilih jalan pulang. Bukan untuk game over dan mengalah, tapi justru lagi mengajukan tantangan, yang agak ngeri sih kalimatnya: "apa yang kamu bisa perbuat untuk kampung halaman?". Meski saya belum tahu saya mengerjakan apa nanti. Mmmm...mungkinkah saya akan ber(t)ani? Mengajak warga untuk melek kedaulatan pangan negeri kita? Haha...syedaaaaaappp.
--Kim
PS: Sementara segini dulu, ini update-an dari draft-draft yang terbengkalai. Dilanjutkan sesuai dengan kondisi perasaan yang terkini.
PS: Sementara segini dulu, ini update-an dari draft-draft yang terbengkalai. Dilanjutkan sesuai dengan kondisi perasaan yang terkini.
2 comments:
setelah ini, saya akan rindu mampir di kesini lagi, tulisanya segerr heheee ini masalah selera :)
Hi Yayack..
Makasiiih udah mampir. :)
Post a Comment