We've headed off to Tayan Hilir about 12 noon. It took about 2 hours and more. Best is, jalur trans-kalimantan yang dibangun pemerintah sejak enam tahun silam sekarang sudah bisa dilewati. Sebelumnya, menempuh Tayan dari Pontianak membutuhkan waktu hampir 5 sampai 6 jam karena harus mengitari gunung. Nah, jalur trans-Kalimantan ini justru membelah gunung (gitu deh singkatnya), makanya bisa cepet sampe.
Di Tayan Hilir untuk mendapatkan solar atau bensin sangat susah. Antrean bisa berhari-hari. During my trip to Tayan, saya sempat mendapatkan gambar antrean truk yang mengular tanpa sopir. Bisa jadi truk-truk itu sudah berhari-hari ngetem di sana. Bahkan di Pontianak tidak semua SPBU bisa seharian penuh beroperasi. Terkadang menjelang petang sudah diberi palang dengan tulisan “Bensin Habis” di depan jalan masuk SPBU. Kami sempat kena dampaknya, driver kami yang satunya harus membeli stok bensin secara ecer di pasar Tayan.
Rasanya saya tak ingin memejamkan mata sekalipun melewati jalur trans-Kalimantan ini. Sepanjang mata memandang di jalur yang ‘membelah gunung’ ini yang nampak adalah hijau-hijauan. Sesekali kami menemukan rumah kayu milik penduduk yang hanya berjumlah tak lebih dari tiga rumah, lalu kembali dijumpai pohon-pohonan. Begitu seterusnya. Kalau masih amatir mengendarai kendaraan melewati jalur ini, terutama malam hari disarankan agar berhati-hati. Kejahatan seperti begal, rampok, ditodong di tengah jalan, dipaksa berhenti dan berbagai jenis kejahatan kadang masih ada.
We visited some heritage sites, such as Keraton (kingdom) Tayan Hilir, Tayan Mosque etc. Also we passed by the Pesantren near river Kapuas. The Pesantren has two main buildings, one divided into two chambers (for girls and for a teacher family) and the rest for boys.
Hotter than Miami! (ciyee...uda pernah gitu ke Miami beroh?).
I must admit panasnya Jakarta atau Surabaya dan apalagi Jogja or even Madura lebih panas lagi dibandingkan dengan Kalbar, terutama di kecamatan Tayan Hilir, yang bersebelahan dengan sungai Kapuas. Gak heran ya, karena Kalbar memang tepat dilintasi garis khatulistiwa. Sensasi panasnya pun berbeda dengan panas pesisir Surabaya, panas polusi dan banyaknya penduduk Jakarta, atau panas pulau Madura. I’ve been there mentioned places, but stand in a yard in front of Keraton got my skin with a kind of ‘strongest’ sun. Saya sesorean mengurus acara di sini bersama team, juga dengan para santri dan pelajar Madrasah. I feel the different sensation, a sweat day apart of sunbathe. Buru-buru saya harus mencapai dan memasuki Keraton untuk menghalau panas halaman depan. Keraton yang masih berupa rumah panggung dari kayu membuat hawa terasa lebih dingin.
Here some hits:
Jalur trans-Kalimantan |
Keraton Tayan |
Santri Putra |
Masjid Pesantren |
Get some pics by visiting my facebook page or flickr.
Minal Aidin wal Faizin ya. Mohon maaf lahir dan batin.
Cheers!
---Kim---
No comments:
Post a Comment