Try to search for The Things?

February 11, 2014

Chennai Express: Penuh Komedi dan Reunian

Saya tak ingat persis kapan saya dan teman SMA saya ini menjadi bersemangat menceritakan hal-hal tidak penting. Menceritakan begitu cantiknya Rum (Rumanah "Tukang Bubur Naik Haji"), begitu kocaknya film Suzanna, gokilnya Chennai Express, dan bagaimana mahasiswa jaman sekarang ber-KKN dengan menyebut-nyebut 'bid'ah' ke warga kampung.

Enak rasanya membicarakan kesalahan dan ketidaktepatan orang dengan nada riang seperti ini, walaupun ujungnya gak enak juga sih. Karena apa sebenarnya yang sudah kita lakukan?. Untungnya ini bukan ajang berpendapat di ballroom hotel-hotel mewah seperti di televisi. Jadi kali ini kami bebas dikejar rasa bersalah akibat tidak bisa menjawab pertanyaan maut yang selalu mengintai itu.

Kembali ke film yang tengah kami bahas. Saya belum pernah berjumpa dengan seorang lelaki (setelah sepupu saya tentunya) yang begitu antusias diajak membicarakan film india. APA? Iya I-N-D-I-A. Mungkin bakatnya memang jadi perayu yang metesek di umur twenty something-nya, Saya harus memaklumkan ini sepertinya. Kalau ndak, saya bisa dikosek ampun-ampunan dan dijancuk-jancukkan. :-D

Bollywood, demikian sebutan tenarnya, mampu memproduksi ratusan film india yang bernilai multi-million dollar. Tentu ini berlaku hanya di Mumbay dan sekitarnya saja. Kita pasti masih ingat, pelajaran IPS ketika SD berapa luas negara India dan bertetanggaan dengan negara mana. Yang belum ingat, mari kita buka RPUL -Wikipedia. Banyak orang Pakistan melihat film India, karena mereka juga mengerti bahasa Hindustan. Begitu juga Bangladesh, Nepal dan Sri Lanka. Tidak heran rasanya jika film lokal Hindustan mereka berjaya di negara sendiri, dikonsumsi oleh warganya sendiri. Warga negara sebelah yang juga suka hanyalah sebuah bonus. Bollywood menjadi signature icon India.

Hiburan memang menyatukan perbedaan, bahkan konflik. Masih ingat Indonesia geger karena karena tim sepak bolanya kalah oleh Harimau Malaya, remaja Malaysia tak ambil pusing dan masih setia dengan sinetron "Yusra dan Yumna" kita. What a real..., fact (teens).

Salah satu dari sekian banyak daftar yang membuat saya tertarik dari Chennai Express adalah tidak lain genre komedinya. Juga, budaya yang ditampilkan tak malu-malu disandingkan dengan keindahan daratan India Utara-Selatan. Kita seperti diajak berwisata masuk ke rel terowongan, melintasi jembatan yang membelah gunung, melewati air terjun yang menakjubkan, shot-shot yang jernih, tokoh-tokoh yang multi-ras, warna-warni sari, tarian yang rancak, sembari disodori komedi yang effortless. Sebuah paket kombo yang siapapun tak akan tolak.

Saya menyebut film yang dibintangi SRK dan Deepika Padukone ini sebuah reuni. Bagi yang pernah mengikuti penetrasi film India ke kampung halaman masing-masing, tentu ingat tokoh Anjeli, Tina dan Rahul. Tokoh ini juga bagaikan sekawan dengan judul-judul seperti "Dilwale Dulhania La Jayange" atau "Rabne Bana Di Jodi", "My Name Is Khan" dan baru-baru ini "Ra One". Sutradara film ini asyik menyomot adegan-adegan yang tak terlupa dari film-film yang terkenal sebelumnya. Adegan lari-larian Kajol dan SRK di kereta dalam film DDLJ  menjadi pembuka di Chennai Express, tentu dengan balutan komedi. Dan juga "....My Name is Rahul, and I am not terrorist" juga bisa kita dengar lagi disini. Lagu-lagu dari film-film lain diambil bagian reff-nya dan disempalkan dalam dialog, menjadi cubitan bagi kita yang akan bergumam "sepertinya saya tahu lagu ini".



Lalu, sponsor utama film Nokia Lumia 920 juga tak basa-basi dimasukkan dalam dialog, tidak boros kesannya, masih bisa kita terima dan tetap lucu. Saya harus mengacungi jempol dua bagi pembuat skenario. Tagline SRK "dont underestimated the power of common man" ini sepertinya tidak asing kita dengar. Selain nukilan dari film Ra One, dengan guyon kita bisa artikan ini sentilan untuk gejolak politik di India. Partai "Aam Aadmi" (Common Man) yang dipegang oleh Arvind Kejriwal, seorang mantan insinyur yang berubah haluan  menjadi politisi sedang menentang partai incumbent Congress Party di pemilu nanti. Saya tidak pasti pembuat film ini memiliki kecenderungan politik kepada siapa, tapi rasanya bila ada dukungan bagi golongan oposisi yang menentang 'partai lama yang berkuasa' rasanya sah-sah saja ditampilkan lewat seni.

Cerita Chennai sederhana, tapi komedinya berhamburan dimana-mana. SRK, seorang penjual manisan di umurnya yang ke-40 dari Mumbay, ia harus ke Rameshwaran untuk melarung abu jenazah kakeknya. Di tengah berkereta itulah ia menemukan ceritanya. Ia bertemu Meenama Lohdchini yang melarikan diri karena menolak dinikahkan dengan Tangabali. Ayah Meena merupakan bos gengster di wilayah Komban. Ayah Tangabali begitu juga. Jadi jika keduanya menikah akan menambah zona kekuasaan si Ayah Meena. Drama lari-larian dari kejaran preman-preman ini menghiasi awal cerita Sampai suatu saat, Rahul jatuh cinta dengan Meena (klasik ya), dan memperjuangkannya untuk mendapat restu. Eciyeh.

Mungkin karena saya penyuka detil, kekocakan film ini diperpecah dengan kesan India yang tidak biasa. Saya pasti akan mengingat penduduk India yang cantik mulus. Tapi penduduk bagian utara asli yang berkulit hitam legam dan tetap ceria disini ditampilkan. Belum lagi warga Sri Lanka yang tertangkap di perairan India, penjaga kereta yang diuncalkan (dilempar) ke sungai, dan bagaimana proletarnya keseharian sebuah kampung di Tamil Nadu. film ini berlatar Desa Komban, India Utara.

Terakhir, apakah saya akan merekomendasikan film ini untuk kawan-kawan semua, bagi yang ingin tertawa-tawa melebihi 3 IDIOTS atau lucunya SRK di Rabne Bana Di Jodi, saya akan berkata begitu. Film ini juga bahkan sukses mengalahkan DHOOM 3 dan menjadi film ke-empat India dengan pasar yang sukses di luar negeri. Dan bagi yang tidak suka SRK, sudahlah, memang sudah jadi tuntutan akting, ia harus beraksi lebay sedemikian rupa.


--Kim--

No comments:

Follow