Dari Tjina, menjadi Cina, lantas diperbarui China (dengan "H"). Kita menghormati otoritas yang mengedit tata bahasa kita dengan dengan berbagai pertimbangan. Namun apakah lantas kemudian cara pelafalannya pun ikut 'diminta' berubah? dari dulu Bahasa Indonesia kita punya huruf "i" tetap dibaca "i". Entah diawali atau diakhir oleh konsonan lain atau tidak. Tidak berpengaruh.
Ini jelas berbeda dengan "Indon" yang dibuat untuk menyingkat Indonesia. Sebuah profan yang resonansinya sama dengan "nigga" Amerika kulit hitam. Sejarah berbicara, "nigga" dalam penggunaannya sangat melukai perasaan kulit hitam Amerika. Saat itu masih dibedakan area publik antara "colored" dan "white". Kemudian Kennedy perjuangkan melalui Civil Right Act of 1964. Sedangkan "Indon" berkonotasi negatif karena disandarkan artian kepada TKI-TKI Malaysia yang tidak memiliki kecakapan kerja, yang gampang dibully, yang seenaknya haknya tidak dipenuhi dan segala tindakan yang 'melukai' martabat pahlawan devisa Indonesia. Itu dulu, ketika sistem ketenagakerjaan kita masih amburadul, meski tidak yakin juga sekarang sudah sebaliknya.
"Indon" disepakati kedua negara untuk tidak dipakai, karena terdengar 'menyakitkan' bagi Indonesia. Kita melihatnya dari sisi historis. Lagipula negara ini bernama lengkap Indonesia dan tidak disingkat dengan semena-mena. Singkatan yang disepakati oleh kita adalah INA. Seperti halnya AUS dan USA atau NZ. Ini wajar untuk diluruskan, dan ini berbeda dengan C(h)ina.
Alasan penambahan huruf "H" adalah obat pelipur bagi perlakukan anti-Tionghoa yang pernah tercatat dalam sejarah bangsa ini pada mereka, cukuplah begitu adanya. Tidak perlu penambahan "H" ikut mengintervensi pelafalan dan cara baca kita. Saya setuju dengan tulisan Sapardi Djoko Damono dalam Tempo pekan lalu (17/2/14). Apakah kita terus-terusan mengangguk jika tata bahasa saja kita pun diintervensi?.
Kita bangga berbahasa Indonesia berarti melestarikan apa yang sudah disepakati oleh pemuda-pemuda pendahulu kita. Sepakat berbahasa satu, bahasa persatuan, bahasa Indonesia. Toleransi tetap ada, tapi jangan keblinger, jangan berlebihan. Kita masih berhak 'saklek' untuk urusan 'harta' bangsa.
Untung saja, penamaan Kapal RI Usman-Harun kemarin bisa kita pertahankan dengan elegan. Meski negeri sekecil liliput itu 'ngambek'. Keteguhan pemerintah kita perihal penamaan yang bisa dipertahankan (meski bukan persoalan yang besar), entah kenapa telah menaikkan satu tingkat kebanggaan saya terhadap bangsa Indonesia, dan rasa terima kasih saya kepada pihak berwenang untuk ini.
Sekali lagi untuk itu, aneh rasanya kesepakatan penambahan huruf "H" sebagai permohonan maaf bangsa ini (mewakili rezim yang bersalah) kepada seluruh warga Tionghoa, kemudian diikuti pelafalan berbahasa Inggris menjadi "Caina".
--Kim--
PS: Sering gatel mendengar pembaca berita dengan fasihnya membaca China dengan pelafalan Bahasa Inggris.
3 comments:
iya tuh, reporter di TV sering nyebutnya 'Chaina'
Terus sekarang kita mulai menyebut Jakarta dengan 'jekardah'
Terlalu...
Hehe iya. Untung Jekarda cuma disepakati sama anak gaul.
usman-harun, pernah kita bahas di museum bahari, hehe *sing dibahas opo sing dikomen opo :D
Post a Comment