“Tahu kau mengapa aku sayangi kau lebih dari siapa pun? Karena kau menulis. Suaramu takkan padam ditelan angin, akan abadi, sampai jauh, jauh di kemudian hari"
- Pramoedya (Child of All Nations).
Hari ini saya beradu argumen dengannya. Dia masih menetap di Turki, for goods. Saya tidak menyangka dia segahar itu dalam 'mempermainkan' saya. Berkali-kali saya lontarkan kalimat mengapa kita tak jumpa sejak dulu? Jawabannya seringai sinis dan kalimat bernada meledek "Tau sendiri kan JAKARTA macetnya gimana? pantesan kita ketemunya lama". Sok tahu! kapan dia tinggal di kota penuh siasat ini. Lalu dalam sebuah percakapan yang saling memburu, tetibaan dia berujar "There's no any boundaries spot for us. Just you and me could make like this. Let's get crazy". Dan well, saya berada dalam pusaran depresan dan halusinogen? He's different. Let's just get those in details.
Dia dengan sadar menghamburkan pujian terhadap sifat (yang baik-baik) saya. Saya senang? halah, itu kan trik lelaki saja. Di sisi lain, dia hantam saya dengan tebakan sifat buruk dan segenap kondisi saya secara relasi sosiologis dan situasi personal, dan kemudian dia off. Lain waktu dia skak-mat saya dengan beberapa kalimatnya. Tahu lagunya Holy Grail Justin Timberlake? Kiranya saya berada di lirik reff itu sementara ini. Lagi, dalam kesekian kali saya merasa dikalahkan. Kalah itu tidak mengenakkan.
Dia teman saya, yang mengenal saya lewat tulisan saya, bukan yang lainnya. Saya juga tidak tertarik dengan yang lainnya sih. Dan dia dengan entengnya mencecar saya dengan pertanyaan tabu. Ia dengan gampangnya memercayai saya lewat sharing cerita-cerita (multi rahasia) nya. Dengan demikian, saya juga memercayainya. Ah sesederhana itu menjadi teman? Iya.
Soal fisik, kami sudah skip. Maksudnya sudah saling menghina satu sama lain. Karena dia tidak berjambang, dan saya tidak sefeminin dan lugu yang ia bayangkan. Dan kami tidak tertarik satu sama lain. Baiklah, ini adalah kelemahan kami, menolak dengan halus untuk saling tertarik urusan begituan. Tapi dia bilang "hati-hati". Rupanya dia masih memancing diri untuk tertarik dengan saya. Kali ini saya menang. Menang itu menggembirakan ya.
Semacam ledekan bagi yang tak berjambang, wahai.. |
Dia hanya teman bermain. Kata Ayu Utami, lelaki yang baik adalah yang menjadikan perempuan bukan mainan, tapi teman bermain. Dia memanggil saya Lala. Jelmaan dari temannya Lupus. Untuk alasan sekejap tak berguna, tak perlu saya utarakan apa filosofisnya. Selain nama penggilan paten saya, dulu saya dipanggil Abe, Kim, Kimmi, Bebe, Mabenz, Kimberly, juga karena tidak ada alasan spesifik. Konon dilafalkan asik saja, begitu kata teman-teman.
Hari ini dia ke Ankara, naik hizlitren. Kereta yang memiliki kecepatan 241 /km. Moda transportasi ini bagus bagi para lajang yang ingin lari dari masa lalu. Lalu dia off. Begitulah, selalu on lagi dan off lagi. Berbeda zona empat jam, kadang menyusahkan. Terutama jika mengingat selo dan tidaknya kami. Wait, barusan saya bilang apa? K - a - m - i ? Bukankah dua subyek yang dijadikan satu ini menimbulkan makna kebersatuan? Ambigu? Apa sengaja dibikin ambivalen, supaya terdengar "mendengung" di kepala masing-masing?
Hari ini dia ke Ankara, naik hizlitren. Kereta yang memiliki kecepatan 241 /km. Moda transportasi ini bagus bagi para lajang yang ingin lari dari masa lalu. Lalu dia off. Begitulah, selalu on lagi dan off lagi. Berbeda zona empat jam, kadang menyusahkan. Terutama jika mengingat selo dan tidaknya kami. Wait, barusan saya bilang apa? K - a - m - i ? Bukankah dua subyek yang dijadikan satu ini menimbulkan makna kebersatuan? Ambigu? Apa sengaja dibikin ambivalen, supaya terdengar "mendengung" di kepala masing-masing?
Baik-baik di negara Recep Erdogan ya.
--Kim
No comments:
Post a Comment