Try to search for The Things?

June 26, 2011

Ayah dan 3 Kalimatnya


Banyak lagu yang menggambarkan sosok ayah, selain sosok ibu yang sudah lebih dulu mendapat ‘tempat’ di hati pendengar musik. Saya tidak begitu suka mendengar lagu mellowdramatic tentang sosok seorang Ayah. Entah kurang sreg dengan lirik atau apa. Hanya saja saya kurang setuju jika lagu tentang ayah didasarkan alasan karena sosok Ibu bisa digambarkan lewat lagu, mengapa ayah tidak?. Menurut saya, tanpa dilagukan, sosok ayah ya tetap ayah, yang kuat, tak mellow, dan memimpin seluruh anggota keluarga dengan kebijaksanaannya.

Kali ini saya ingin bercerita tentang Ayah saya. Ayah saya tak pernah marah, tak pernah menegur dengan ucapan atau tindakan. Kalau disebut pendiam tidak juga, lebih mendekati sosok yang tenang, dan tidak banyak bicara selagi tak penting. Ia jarang bercakap-cakap dengan kami untuk urusan personal. Dan itu kami maklumi, ia juga meyakini kami sebagai putra-putrinya sudah mengerti bagaimana berkelakuan dan bersikap sesuai kehendaknya. Ia memberi kebebasan-yang-bertanggung jawab kepada kami. Saat itu, saya menerimanya karena semata-mata kebiasaan, bukan kesadaran.

Hingga kejadian yang saya sebut sebagai pelajaran berharga bagi saya, dan merubah arah karena terbiasa saya pada Ayah  menjadi penuh dengan kesadaran. Tujuh tahun lalu ketika saya masih unyu (polos, lugu lebih tepatnya), dan baru saja lulus dari sekolah menengah pertama dengan hasil lumayan (standar saja maksud saya). Sudah kebiasaan di keluarga kami, jika selepas MTs (setingkat SMP), kami harus keluar dari rumah, untuk melanjutkan sekolah di luar daerah kami.

Kakak saya yang menganjurkan untuk mendaftar di sebuah sekolah negeri di Malang, dan saya hanya manggut-manggut. Kebetulan sekolah tersebut juga menyediakan fasilitas asrama yang sistemnya mirip pesantren Gontor, cuma bedanya karena dikelola sekolah, jadi agak lebih moderat, dan mengikuti kultur sekolah.

Saya berhasil masuk ke jurusan agama (and badly to say it was not like i wanted at that time). Saya berkeinginan untuk masuk jurusan umum saja, yang tak perlu bersusah-payah belajar bahasa arab-inggris. FYI, all the matters in this department need people with more ability of foreign language specification. Especially text book in every subject printed in Arabic, and totally to say i was suck to eat them suddenly. It was just my first time lived out of my family. Yes I said it was shocking me badly.

Alhasil, bulan pertama di asrama saya lalui dengan tak bersemangat, begitupula di kelas. Tiap pagi, bergegas ke wartel, saya menelepon orang rumah hanya untuk menyampaikan keluhan-keluhan saya yang cenderung menyesalkan kenapa harus masuk kelas ini. Betapa tak nyamannya tinggal di asrama yang memiliki aturan ketat berbahasa asing 24hours nonstop. Betapa pusingnya saya harus masuk kelas dan mengikuti pelajaran dengan pengantar bahasa Arab dan buku-buku cetak berbahasa arab juga. Sampai saya memutuskan untuk memberitahukan ayah bahwa saya ingin pindah jurusan saja, kalau tidak, saya pindah sekolah saja. See? Betapa saya sangat membebani ayah dengan keputusan yang mirip ultimatum ini.

Ayah hanya bertanya kepada kakak-kakak saya “kenapa adikmu ini kok gak krasan?”. Hari itu juga, ayah bergegas ke Malang untuk menemui anak bontotnya ini. Dan saya gembira luar-biasa, karena sedikit lagi saya akan pindah dari kelas yang membuat saya tertekan ini. Tapi kondisi berkata lain, sekolah tidak bisa memindahjurusan dengan begitu cepat, pun jika harus keluar, menunggu untuk akhir semester. Ayah saya tak sempat beristirahat, tiba di Malang jam 3 sore, bertemu dengan Bpk Kepala Sekolah, kemudian ia memulai perbincangan dengan saya di masjid sekolah selepas sholat maghrib. Disitu, di teras masjid kemudian beliau menasehati saya.

“Nduk, dicoba dulu. Apapun yang belum dicoba pasti akan kelihatan sulit.”

Saya terdiam sesaat, kalimat Ayah ibarat tegukan air dingin untuk tenggorokanku yang mulai tercekat. Ada perasaan melunak seketika itu juga. Tiba-tiba saya sadar, setelah bahkan seminggu2 sebelumnya nasehat yang sudah saya dapat dari kakak atau Ibu mental dengan sukses, saya dengan keras kepala masih bersikukuh untuk tak lagi bertemu dengan buku-buku berteks arab itu. Dan detik itu juga, hanya ucapan ayah yang singkat, padat, jelas cukup membuat saya tenang.

“Kalau ndak krasan, ya nanti setelah semesteran, bisa pindah.”

Kembali kalimat tambahan Ayah ini malah membuat saya terisak. Betapa saya terlalu memaksakan kehendak, betapa saya merepotkan ayah, ibu dan kakak2 saya dengan acara ‘gak krasan’ saya yang kelihatan sekali kekanak-kanakannya. Kenapa saya tidak membuka diri untuk menerima hal-hal baru yang belum saya ketahui sebelumnya.

“Wis ya Nduk, tak wangsul ndisek. Mundak kebengen nduduk omah.”
(Sudah ya nak, Ayah pulang dulu, takut kemalaman sampai rumah)

Seketika itu juga, luruhlah semua keegoisan saya. Betapa 3 kalimat tersebut mampu membuat hati saya terbuka, membuat saya harus kuat dan tak lagi cengeng. Setelah salim dan berpamitan dengan ayah, ia mengambil mikrolet LG (Landungsari-Arjosari) di jalan depan masjid. Hingga ia masuk dan mikrolet itu membawanya berlalu dari hadapan saya, kaku tak beranjak kemana-mana kaki ini terasa. 6jam kira-kira perjalanan Malang ke rumah saya. Dan ayah melakukan perjalanan pulang-pergi itu untuk saya.

Semester pertama, saya menghadiahi beliau dengan nilai-nilai raport yang nyaris tak bisa dipercaya, tidak ada angka 6 teman!, saya masuk ranking 3 besar. Saya melahap buku-buku berteks Arab itu dengan excited. Seakan-akan ini adalah tantangan (begitu pikir saya waktu itu). Lalu beberapa prestasi non-akademik tingkat provinsi pun sempat saya raih di sekolah ini. Semua saya jalani tanpa paksaan, melainkan karena kesadaran taat saya kepada orangtua. Dan kesadaran itu bersumbu dari 3 kalimat ayah saat itu. Ah, ayah..saya menulis ini dengan ‘rasa rindu’ kepadamu. Semoga ayah diberi kesehatan disana.


We Love You Dad!


6 comments:

Ajeng Sari Rahayu said...

senangnya aku baca pengalamanmu pas sekolah di Malang sana. aku aja pengen banget lho Kim, pengen tahu Gontor itu kayak apa pesantrennya. yang di Malang dicrita kamu ini sepertinya mirip, pasti menyenangkan karena sekarang kamu dah sadar... yang dipelajari dulu ada manfaatnya kan, meskipun sulit.

Kim said...

hai Ajeng, trims sudah mampir.
Rasanya senang kalau kita menuntut ilmu tanpa paksaan,karena kita memang menikmatinya.
in this story, saya akan sangat menyesal jika dulu harus pindah dari sekolah ini.
Blog-mu apa Jeng?

M. Hudatullah said...

hmm... saya tidak setaat itu sama orang tua... --"

Melawan batas nyaman itu memang memberi banyak benefit ke diri kita juga yah? all beginning is hard..

>>btw blognya ajeng judulnya: fight girl is me

Nona pelantjong said...

aku ileng mbiyen awakmu karo novita kerjaane mewek.. :) sementara aku cm cengengesan karena baru keluar rutan.

tampilan blogmu jangan yg transparan ndu, susah bacanya..

Kim said...

@Hoed: loh, km kuliah di kampus tercinta kita, saya kira bagian dr ta'atmu juga hoed? ato jgn2 kepaksa?

@Fika: transparan tp kan font-nya putih cuz, jd bs dibaca. lagi pgn ganti suasana saja.

iyo nangis-nangis bombay dah sebulan pertama, kerjaane nulis diary di atas singgasana kasur Dar'a..

istikhoroh said...

wihhh... ti fahim,,,q manggil mbaak aja ya skrg,,,, stlh baca artikelx,,, jd pgn nangis mas,,, inget hari2q d sekolah dulu,,, nangis n nagis aja

Follow