Title : Kemplengan on mission (bhs jawa: bonceng tiga)
Venue : NotoHadinegoro Airport, Jember
Pagi itu kami berangkat dari rumah kakek menuju bandara, You know lah landasan bandara di Jember ini masih baru dan belum beroperasi benar, jadi lahannya yagn luas bisa multifungsi. Disanalah aku akan belajar motoran. Karena ternyata my sister juga ikut-ikutan ingin melihat aksi perdanaku dalam misi ini, akhirnya kami berangkat satu motor bonceng tiga.
Posisi di depan adalah diriku, ditengah adalah kusir cadangan kami yang terhormat; sepupuku cowok yang bertubuh methekol enkorporisanol dan bertangan panjang (sehingga jika aku nanti tak kuasa dan gelagapan dalam mengerem, dengan bantuan tangan panjangnya, ia bisa meraih cakram dengan mudah). Posisi terakhir yang paling merana dan menderita adalah kakakku. Karena semata-mata pelana vega yang luas harus dihabiskan oleh sepupu cowokku tadi untuk menampung badannya yang menyita jatah tempat duduk kami. Tak tahulah aku, apa pantatnya bisa duduk dengan khidmat dalam keterbatasan space.
Namun si merah ini tetap meluncur dengan tenang. Sampai akhirnya di tengah jalan aku mengalah untuk tak duduk di depan lagi. Aku beralasan tak bisa konsentrasi penuh (teman, menyetir motor juga harus menyatukan pikiran, biar tak lengah). Secara, para penumpang di belakang masih berselisih tentang pembagian tempat duduk yang tak adil itu.
Akhirnya sepupuku pindah ke depan. Ah, ya posisi yang paling tragis nan merana digantikan oleh diriku. Karena tubuhku yang kecil, aku dijebloskan dalam gencatan dua badan yang mendorong dan menahan tak tertahankan.
Aku pasrah..
And its tragedy began....
Di kejauhan kulihat ada seekor kucing yang lagi melenggang santai berjalan di depan arah tujuan motor kami. Karena jarak kami dengan kucing masih agak jauh, sepupuku tak mengurangi kecepatannya. Ngebut mode is on. Ah ya teman, kurasa kucing itu bingung tak tertahankan dengan suara auman motor vega kami (mungkin ia mengira ada musuh yang menyerang). Aku bisa melihat wajah kucing yang ingin menyebrang dengan tenang menjadi pias nan gugup antara memilih maju ke depan atau mundur.
Karena sepanjang perjalanan kami terpingkal-pingkal bercanda menghadapi kejadian ini menjadi kaget seketika. Dalam benakku "ni kucing kok gak nyebrang2 sih, malah maju mundur gak jelas". Pikiran tak karuan bercampur aduk. Apalagi ditambah si sepupuku tadi dengan gaya menyetirnya tolah-toleh kanan-kiri dan ngakak-ngakak tak jelas.
Sempat terjadi perdebatan serius, darurat nan cepat antara mulut kami bertiga.
"Rem, rem...cepat"
"Iya..., iya."
"Cari jalan ke kanan, ayo cepet..."
Rupanya si kucing sempat senam poco-poco juga, antara maju dan mundur, mencoba menangkap pesan non-verbal roda motor kami. Namun tak sampai dalam hitungan detik, kami pun tak memilih jalan ke kiri ataupun kanan. Karena kami juga dibingungkan oleh tingkah kucing yang berpoco-poco tadi.
Takut menabrak, akhirnya kami dengan ngebutnya tetap memilih jalan lurus saja. Tahukah kau teman, dalam keadaan darurat yang tak ada waktu berpikir lama, pasti kalian pun akan mendukung keputusan kami ini. Dan syukurlah, si kucing melesat mencari jalan ke arah kiri kami. Setelah itu,barulah kami bisa berpikir normal dengan mengurangi kecepatan motor, namun tetap menoleh ke belakang untuk mengecek kondisi terakhir si kucing.
Namun...yg terjadi selanjutnya adalah...
Hal yg tak terlintas di pikiran kami yakni..
....
..
Ada sepeda onthel yang sedang dikendarai seorang bocah sekitar umur 15 tahun juga melintas di sisi kiri kami. Sepeda itu dikendarai dengan kecepatan ayuhan sedang nan santai. Akan tetapi si empunya sepeda menjadi kaget juga ketika jalannya tiba-tiba diserang kucing yang gelagapan lepas dari maut. Akhirnya.... tebaklah kawan,
Sepeda itu melindas tepat pada badan si kucing yang malang. Akibatnya sepeda onthel itu hilang keseimbangannya dan jatuh. Lepas dari serangan harimau, masuk dalam mulut buaya. Aih..begitulah tepatnya nasib si kucing yang bisa ku gambarkan teman
Ya Tuhan...kami merasa bersalah atas apapun. Pada si bocah yang tak sengaja menjadi pelaku kekerasan hewan itu, wabil khusus pada si kucing juga. Tapi, syukurlah..si kucing masih ku lihat berlari stelah kecelakaan itu, tandanya ia masih sehat wal-afiat setelah diberondong kejutan2 maut untuknya. Dan bagaimana keadaan si bocah malang itu?. Ku kira ia akan sangat2 marah karena dikiranya kami memberi umpan kucing itu untuknya. Ternyata si bocah malah terpingkal2 sambil tetap berada di posisi ia terejatuh, tak berusaha bangun atau melakukan gerakan kembali ke posisi normal atau sejenisnya.
Sekilas ku lihat wajahnya bersemu merah menahan malu (entah untuk apa adegan malunya keluar ya?). Sungguh aku tak bisa menahan ketawa atau menggambarkan secara rinci air muka si bocah (antara malu, tertawa akan nasib yang menimpanya, atau terelanjur kepalang basah atau apalah). Session terpingkal-pingkal itu ditambah dengan kehadiran bocah-bocah yang muncul dari halaman rumah-rumah warga. Tertawa terbahak-bahak karena ada anak muda yang jatuh, dan (mungkin saja) mereka sempat melihat tragedi kucing yang kami hadapi bertiga tadi.
Sampai saat ini, ketika saya membayangkannya, selalu tersenyum-senyum sendiri. Atau jika saya ke rumah kakek, melihat Yamaha Vega R, ingatan saya selalu kembali ke tragedi kucing dan sepeda engkal (sinonim jawa:onthel) ini lagi. Begitu manis teman romansa awal latihan aku mengendarai motor, nostalgia ini teman aku menyebutnya (sudah kim, ceritanya sudah mau ditutup).
Yah begitulah ...sekian sesi ceritaku kali ini.
credit pic: http://xframe.wordpress.com/ |
4 comments:
hahahaha, saya bisa bayangin kacaunya kaya gimana. (ini kalian pada bonceng bertiga ya?)
kasian juga si kuicng... moga dia ga apa-apa deh...
jadi sekarang dah bisa naik motor neh?
kacau beliau deh pokoknya hoed...
iya bonceng ber3.
udah bisa ngepot2 malah hoed.
kalau sampe nabrak tuh kucing, pasti merasa sangat bersalah :D
Untungnya tidak Jeng, yg jelas momen ketawa-nya itu lho everlasting live ampe sekarang.
Post a Comment