Pada sebuah malam, di hampir
penghujung tahun 2012. Saya sedang mendekam di kamar. Tercenung di depan laptop
dan beberapa buku latihan tes bahasa inggris di samping kanan-kiri.
Pukul 11 PM pas.
Habis keluar beli makan malam di
warung Padang. Telat makan karena pulang dari kantor jam 7, sesampai di kos langsung
tertidur sampai pukul 9. Bangun-bangun kaget, lihat jam, buka jendela kamar dan
melakukan kegiatan mengecek tanda-tanda alam akibat “apakah aku tidur terlalu
lama?, apakah ini sudah pagi?”. Ini pasti saya sedang kedapatan the power
nap. Kondisi badan dan pikiran mendapatkan istirahat yang berkualitas meski sebentar.
Saya menginvite pin-nya kembali. Tidak
ingin bercengkrama, namun bukankah Wahai Pria, itu sebuah kode yang
maha-pertanda?. Saya yang ingin disapa, sebagai reward karena saya menurunkan
ego dan menginvite pin anda duluan. “Siapa duluan” masih menjadi ukuran
gengsinya siapa yang berhasil ditaklukkan di antara saya dan dia. Meski siapa
menang, siapa kalah sesudahnya malah menjadi bias.
Untuk ukuran wanita normal, yang pin-nya sudah di delete dari hp-nya, lalu kita menginvite-nya kembali, dan diterima, tapi ketika kita menyapanya, semacam ada declining darinya, mungkin akan menjadi cela, mempermalukan diri sendiri dan bahasan harga diri (ah..lupakan sejenak muatan egosentrisme itu). Saya tidak, karena sayalah yang saat ini sedang memperjuangkan sesuatu. Saya yang sedang memperbaiki mana yang perlu. Yang dulu sudah dibangun tak singkat, payah dan memakan waktu.
He’s not just that into you. Film kapan tahun yang saya tonton pas jaman kuliah. Inti film ini cuma satu: dia tidak lagi mengharapkanmu sebesar kamu mengharapkan dia.
Tapi apa semudah itu? lalu selesai permainan.
Saya harus berada pada fase questioning myself. Tidak lagi dengan ego, tapi dengan hati. Kalau dengan ego, saya pasti akan menyalahkan dia, dia dan dia lagi. Selesai perkara. Tapi apa iya, jika dengan menyalahkan dia, adalah bagian saya memperjuangkan sesuatu? Tidak kan?. Maka saat ini, saya kesampingkan perasaan-perasaan “merasa”, seperti : saya merasa dipecundangi olehnya. Saya merasa dipermainkan lagi olehnya. Saya merasa sudah dibuang, telan, dibuang, telan lagi olehnya. Saya merasa diabai, acuhkan, abai, acuhkan. Berkali-kali sampai saya tidak tahu mana hati yang sudah mati, mana yang masih bisa dipungut perbaiki kembali. Saya merasa dia cinta tapi tidak sepenuhnya lagi mencintai. Saya merasa dia ada di sepanjang perjalanan, tapi tak tahu mana yang harusnya ia dengar dan mengerti dari pasangannya sendiri. Saya mau mengendapkannya sementara, saya mau berpikir apa yang sebenarnya terjadi sejauh ini. Ini masalah “hati”.
Memperjuangkan yang terkasih itu memang butuh:
berdarah-darah,
butuh dibenci oleh pihak-pihak yang tidak menyukai, bahkan orang tua masing-masing.
banyak keluar air mata
butuh kesabaran
butuh kemarahan kadang menjadi juara, lalu turun peringkat menjadi suara lirih “saya capek dengan ini semua, I’m done”.
Ask to your heart,
Hati/Kalbu/Qalbi itu asal katanya bermakna “bolak-balik”.
Dulu saya memang sudah menutup kesempatan ada lagi. Saya ini keras kepala, saya ini sok-kuat. Bisa-bisanya saya menerima dia dengan syarat dan kondisi. Toh, dalam perjalanan selalu aturan-aturan yang saya buat dan jaga supaya tidak lagi sakit dan jatuh tidak bisa sepenuhnya berlaku.
Ini bukan siapa kalah dan menang, siapa salah siapa benar. Capek kalau sudah ada kata-kata itu muncul. Habis sudah saya dan dia kalau sudah begitu. Tapi ini urusan hati yang memang dasarnya dinamis, ia berbolak-balik. Siapa sih saya ini? Siapa sih dia juga?. Saya ini yang sedang dipermainkan dengan hati saya sendiri (dan mungkin dia juga sama adanya). Saya yang sebenarnya berjuang menyelamatkan hati saya. Hati saya tahu segala perjuangan dan pengorbanan yang sudah ditempuh selama ini. Hati saya yang kelak memberi jawaban untuk sebuah penilaian: apakah dia layak untuk diperjuangkan lagi? Jika sebenarnya dia tak lagi melihat jauh ke dalam, bahkan untuk hatinya sendiri.
Don't ask me whether I was crying or not by finishing this post. I would if I think that the best thing I can do. I release those burden feelings tonight through writing, to let them free. True, it works. What about you there? Do you have a few time to get closer into-you, into-me, or into any of us? or listen to your heart too?.
2 comments:
mmm... semoga dia membacanya. Dan semoga dengan menuliskannya juga bisa mengurangi beban
Sebenernya buat semua juga sih yang bernasib sama. kadang perlu sekali bertanya, semua yang diperjuangkan ini untuk apa?. : )
Post a Comment