Saya masih ingat ketika dia diam-diam menyimpan keinginan saya. Lambat laun, kelak saya paham wataknya yang kaku dan kebaikannya kian sering berjabat tangan. Waktu itu, kami perlu berhemat ketika menjadi mahasiswa. Dan saya membolak-balik buku bersampul oranye karangan Ahmad Tohari di salah satu rak toko buku. Lalu meletakkannya kembali. Saya berceloteh riang bahwa buku ini bagus, meski saya juga baru mencuri dengar dari percakapan teman-teman di kampus.
Kami pulang. Kembali pada rutinitas. Suatu hari, dia datang menyorongkan buku bersampul oranye itu. Saya bungah bukan kepalang. Tapi aneh, buku ini tak terbungkus sampul plastik seperti di toko buku tempo hari. Saya tanyakan padanya, dimana ia mendapatkannya. Ia tersenyum cengengesan.
"Tadi nemu di jalan, ada orang yang jatuhkan buku ini, diambil deh".
"Ohya? Wah kebetulan sekali". Saya yang terlalu tak mau tahu dan bercampur keriangan yang tak terperi, tak lagi bisa membedakan bentuk kebohongan berbalut senyum simpul. Sebuah padu-padan yang teramat sukar diterima akal sehat.
Saya torehkan nama, saya bubuhkan tanggal beserta kota. Semoga saja suatu saat nanti ini akan bersejarah, batin saya. Setelah mengkhatamkan dalam sehari, ada semacam kepahaman yang tertunda mengapa bisa ia mendapatkan buku hasil 'nemu di jalan' ini dalam keadaan mulus.
"Kamu pasti membelikannya untukku kan?" Tuduhku pasti.
"Enggak kok, itu buku nemu. Palingan orang baru beli, trus jatuh di jalan"
"Aaaaah, kamu berdusta" sergahku tak percaya.
"Enggak kok, swear. Itu buku nemu" Tukasnya tetap dengan tertawa.
"Terima kasih ya, saya suka bukunya".
Kelak, buku ini kemudian difilmkan dengan aktris cantik Prisia Nasution. Saya menyukai filmnya, tapi lebih baik saya menyenangi novelnya saja. Novel itu penuh sejarah, ya isinya, ya bagaimana didapatkannya.
Pada malam pekan pertama September, saya sedang berulang tahun. Entah yang ke berapa. Saat itu, saya tergila-gila dengan penulis wanita yang juga menggilai feminisme. Dengan tulisannya, ia menelanjangi laki-laki.
Malam itu, dia datang dari Jakarta, mengetuk pintu kediaman. Dan menyorongkan (lagi) buku setebal 537 halaman, karya misteri dari penulis wanita indonesia yang memutuskan tidak menikah. Saya senang bukan kepalang. Kelak, buku ini telah dijadikan serial dan dielaborasi menjadi 3 bagian.
Kami menghabiskan pagi dengan pertengkaran. Ia cemburu karena teman lama saya mengucapkan doa-doa panjang umur kepada saya. Ah anak muda, kecemburuan itu konon pemanis hubungan. Dia kesal bukan main. Biar saja, esok dia akan reda. Karena saya akan berceloteh dengan riangnya apa isi buku yang diberikannya itu. Meski saya tahu, dia tidak begitu berminat dengan isi buku ini. Dia berminat kalau saya senang membaca, mengoleksi buku, dan terus menulis.
Ngomong-ngomong tentang buku, ya ampun saya pernah membantunya membopong seberat-beratnya tas berisi buku-buku dari stasiun Tugu sampai ke pelataran taksi. Ya ampun, kami berdua itu kurus. Tapi kami tak ingat kalau badan kami mungkin kalah berat dengan berkilo-kilo buku yang kami angkut. Isi peti yang kami seret dan panggul umumnya buku-buku soal sosialisme, kapitalisme, bahasa asing dan aliran Syi'ah kebanggannya. Lalu setelah itu, kelak buku-buku itu sering berpindah tempat dari rumah kos-kosan satu ke kos-kosan lain. Tidak, bukan kami menjadi perpustakaan keliling. Kami sering marah dan bertengkar, lalu barangnya dan barang saya entah mengapa 'harus dikembalikan' ke empunya. Menggelikan sekali ya.
Saya masih ingat.., tentu saja, semua hal-hal sentimentil lainnya. Ya, saya masih ingat, hal-hal yang baik itu melegakan. Terkadang membersihkan hati yang ditumbuhi rasa benci. Dan ingatan ini mengantarkan pada kondisi 'menjaga yang ada'. Memandang sesuatu yang putih lagi kepadanya.
Selamat Hari Buruh ya besok! Jangan lagi tidak minta ijin ke titik nol Yogya untuk berdemo.
--Kim
No comments:
Post a Comment