Saya masih ingat gumaman -bakal ada perubahan tiket nih- di balik -ok, I'm available- saat teman di negara tetangga menelepon saya menanyakan my availability either tanggal 12 or 13 Agustus 2012. Teman dari negara tetangga sebelah itu bakal menyaru jadi atasan saya ketika bertugas di Pontianak, Kalimantan Barat saya iyakan. Anything he says, juga itinerary yang dia susun harus saya patuhi. Terutama ketika saya tahu flight kepulangan Pontianak-Jakarta bertabrakan dengan flight mudik saya Jakarta-Surabaya. Hardly to say tiket mudik return itu sudah saya book 3 bulan sebelum fasting month. Sebagai anak bawang yang punya banyak atasan, saya meminta petunjuk kepada yang lain tentang peliknya bentrokan flight ini (Duile..., pelik!). Willy nilly, saya memang harus tetap berangkat dan urusan bentrokan flight dinamakan urusan pribadi (yang segera diselesaikan sendiri).
Instruksi resmi jatuh seminggu sebelum keberangkatan, dan tentu saja saya harus segera membuat keputusan (which I have to say: this is hard but have to) untuk merubah tiket mudik saya Jakarta-Surabaya. The best choice-nya adalah saya mengupgrade tiket yang semula berangkat pukul 06.00 dari Jakarta menjadi pukul 09.15. Ini berarti persis saya akan mendapat waktu 1 jam transit dari penerbangan Pontianak/Supadio Airport pukul 06.25 yang mendarat ke Soekarno Hatta, Cengkareng pukul 07.55. Kenapa saya sebut the best choice, karena up-grading tiket inilah yang harganya paling logic, ya setidaknya menurut kantong pribadi saya. Lagipula saya tak mungkin kan akan mengambil pilihan flight sore/malam jika up-grading fee nya justru lebih mahal? Oh iya, bonus keleleran di bandara. Tidak ada rutukan sih, meski tetap merasa semendhal/kurang rela karena harganya setara dengan harga tiket mudik kelas affordable yang dijual burung besinya pelat merah.
Saya dijadwalkan tiba di Pontianak pkl 14.55 local time. Ini akan jadi kali pertama saya menginjakkan kaki di tanah Borneo, tanah di mana paru-paru dunia terhampar seperti karpet, katanya sih. Di ketinggian beribu kilometer di atas permukaan laut, sebenarnya akan terlihat sangat indah pemandangan hijaunya Borneo. Apalagi cuaca saat itu (kata Pak Pilot) cerah tak berkabut dan tak ada noisy asap. Ingin sih sekedar menengok atau memotret pemandangan hijau itu, tapi niatan saya urung mengingat duduk saya berada di aisle seat. Sebelah saya dua orang bule yang badannya kekar-kekar. Alhasil, saya memilih tidur siang di bulan puasa.
Sesampai di Supadio Airport, saya tercengang. Ini bandaranya kecil amat ya? (maklumlah Kim, ini bandara skala nasional). Bahkan baggages surveyor belt pun gak muter-muter seperti yang saya lihat di bandara lainnya. Hehehe. Cukup satu line yang ujungnya berupa deretan besi rapi yang bisa menjalankan bagasi secara manual hingga terjatuh di lantai. Teman Melayu saya yang sudah berkali-kali ke Pontianak, sempat ikut tertawa bersama saya akan 'fenomena' surveyor belt ini.
"What r you laughing huh Fahma?" sambil tertawa, pandangannya mengarahkan saya kepada ujung baggage line di depan kami.
Kami dijemput oleh driver kepercayaan kantor kami, namanya Pak Dede. Orangnya baik dan sabar. Sepanjang perjalanan, dengan dialek Melayu dia bercerita tentang Pontianak the past, now and future kepada saya. Bagi teman-teman yang ingin berkunjung ke Pontianak dan membutuhkan transportasi, bolehlah jika ingin menggunakan jasa Pak Dede.
Kota yang terkenal dengan makanan khas dari olahan lidah buaya ini jika dibandingkan dengan kota di Jawa (bagi saya) sama seperti kecamatan Pare-Kediri-Jawa Timur. Sebelah kanan kiri kita masih berupa kebun, sawah atau lahan kosong. Ah, saya seperti balik ke kampung halaman. Kami menginap di hotel Mercure yang hanya berjarak tempuh 20 menit dari bandara. Sesorean ini saya belum bisa keluar karena ada janji bertemu dengan team yang ada di sana. Meski berjarak tak sampai 500 meter dari Mercure adalah Mall A.Yani (Mall terbesar satu-satunya di Pontianak), saya belum mood buat jalan kesana, saya mau berbuka puasa di kamar saja.
Malamnya setelah tarawih, saya mau putar-putar sebentar kota Pontianak. My work mate decided to have a best rest due to his unwell condition. I am okay with that. Sepanjang jalan, saya mengira ada pemadaman listrik sementara, soalnya jalanan disini gelap. Gedung-gedung pemerintahan hanya disinari oleh paling banyak empat atau lima lampu utama. Jalanan protokol seperti Gajah Mada mungkin cukup benderang, namun tetap seadanya. Lama hidup di Jawa yang menikmati cadangan listrik gemah ripah loh jinawi (umumnya batubara justru diambil dari Kalimantan) membuat hal ini terkesan ironi. Bahkan kata Pak Dede, dulu Pontianak hampir setiap hari ada pemadaman listrik, gak siang gak malam. Betapa terbengkalai dan wasting time jika sebuah pekerjaan yang menggantungkan pada daya listrik harus menyerah pada kondisi pemadaman rutin. Kalau sekarang sudah tidak sesering dulu keparahannya. Syukurlah.
Sejumlah toko yang memiliki satu lampu neon saja sebagai panjeran/lampu jaga kebanyakan sudah tutup. Tergantikan oleh lapak-lapak warung kopi yang semakin larut justru semakin ramai. Disinilah daya tarik Pontianak saya rasa. Pembicaraan dari hal remeh-temeh, persoalan politik, harga makanan pokok, pergantian pemimpin daerah, hingga yang berat-berat seperti jual beli tanah, bisnis kelapa sawit, kontrak kerja semua lumrah diselesaikan di meja 40x40 cm dengan kursi plastik seadanya. Ini sama seperti apa yang dituangkan Andrea Hirata dalam novelnya. Hampir orang Melayu (dalam novelnya disebut kawasan Tanjong Pandan, Bangka Belitong) gemar kongkow-kongkow di warung kopi. Diceritakan Arai yang meski lulusan Sorbonne University pun tak kuasa menolak ajakan pamannya untuk bekerja membantu di kedai kopi "Usah Kau Kenang Lagi". Hingga lalu warung kopi merupakan bisnis yang menggiurkan yang tak lekang dimakan usia di pulau yang berpenduduk Melayu. Dengan harga secangkir kopi dan kuatnya duduk berjam-jam, muatan informasi yang diunduh melebihi dari yang didapat intelijen sekalipun. (Lebay ya? iya iya, tapi begitulah).
Pisang Srikaya dan segelas milo hangat di warung kopi yang ngehits di Pontianak |
Anyway, media di Pontianak yang kami kunjungi hari pertama adalah Pontianak Post (Jawa Pos Group) dan Tribun Pontianak (Kompas Group). Kami sempat berdiskusi dan berbuka bersama dengan mereka dalam silaturahmi kali ini. Dari pembicaraan yang ada, umumnya para jurnalis ini berasal justru bukan dari Pontianak. Beberapa dari mereka ada yang dari Bogor, Bali, Surabaya, Solo, Jogja dan Tangerang. Alhasil, semakin gayenglah bahasan dan bercanda kami mengetahui asal-usul mereka yang tiada berbeda jauh dengan saya dan team yang lain.
1. Sebisa mungkin samperin itu Tugu Equator. Sadly, I haven't been there!
2. Bawa sunblock kalo bisa, you know lah Pontianak panasnya benar-benar caspleng ceu’.. karena dilintasi tepat garis khatulistiwa. U’ll feel it much hotter than Miami!. Jadi logikanya, gak perlu bawa baju yang tebel-tebel.
3. Beli makanan khas Ponti: nata lidah buaya/Aloe Vera, lempok durian, ikan asap. Lebih murah dibeli di toko ASIA (deretan toko yang jual oleh-oleh) daripada di bandara. Hahaha craziest, I bought at airport shop!
4. Beli souvenirs di pasar aja, murah tapi gak murahan. Pilihannya juga banyak.
---Kim---
1 comment:
salam dari seberang, bagus infonya tentang pontianak..
Post a Comment