Try to search for The Things?

November 23, 2012

Lalita: Jembatan Kebetulan


Pasti di antara kalian ada yang ‘merasakan’ tulisan Ayu Utami dengan kesan yang hanya dimengerti oleh diri sendiri. Should be anyone of you?.  That should be me as one. Saya menyukai semua karya Ayu Utami, tapi saya merasakan keintiman luar biasa dengan Bilangan Fu, Manjali Cakrabirawa dan Lalita. Terakhir, Lalita memberi jumlah kebetulan yang tidak saya sangka.

Bilangan Fu yang sebegitu tebalnya telah saya baca ketika masih kuliah. Potongan cerita diantaranya adalah teror dukun santet yang menandai pasca kekuasaan Orde Baru lengser. Saya menjadi saksi karena tinggal di daerah teror disebar. Inilah kali pertama saya merasakan buku ini menyentuh bayangan saya akan kejadian. Berselang dua tahun kemudian muncul seri Bilangan Fu, Manjali dan Cakrabirawa. Saya menyebutnya jembatan, karena tertulis banyak kata-kata yang seakan membaca kejadian-kejadian yang sering saya rasakan. Akhirnya setelah berjangka dua tahun lagi, saya sampai di tempat dimana jembatan menghubungkan saya. Senada dengan keragaman covernya, Lalita membawa saya kepada ragam teka-teki. Kepingan-kepingan kebetulan itu terjadi tanpa diniati.

Lalita 

Membaca Lalita seperti melintasi dimensi dan abad yang berbeda dengan pemberian kesan yang detil di masanya. Pertama di bab Indigo kita diajak untuk berdiri di kekinian era. Kondisi persahabatan Parang Jati dan Yuda serta romansa percintaan Sandi Yuda dengan Marja dan Lalita Vistara. Adalah Lalita Vistara, yang menjadi seutas benang yang mengikat antara cerita dari abad ke-15 dimana cerita misteri vampir bermula di Transylvania dengan abad ke 20 di wilayah Nusantara.

Lalita adalah wanita indigo, penyuka benda-benda bersejarah yang selalu berpenampilan mencolok, dengan make-up penuh seperti topeng, layak untuk dijadikan pusat perhatian. Ia kerap menuai kecemburuan gadis-gadis metropolitan di zonanya. Kakak Lalita, Janaka atau Jantaka berkebalikan sifat dengannya. Janaka melihat adiknya adalah musuh yang haus akan perhatian, seperti vampir, tapi tidak menyedot darah, melainkan pusat konsentrasi dan perhatian tiap orang yang dihisapnya. Ia pencari konsentris dengan caranya.

Sedangkan tokoh Oscar hadir sebagai pelengkap untuk memaknai tren pemuda zaman kekinian yang tergila-gila dengan fotografi (modern). Meski tidak sinis, namun pesan Ayu Utami terbaca bahwa fotografi tidak hanya menenteng kamera DSLR kesana-kemari, mengalungkannya dengan penuh wibawa, memoto diri sendiri di depan cermin, atau mengabadikan gambar dengan bidikan tajam. Lebih dari itu, fotografi adalah seni kolaborasi antara mata, warna, ruang gelap cuci cetak, dan insting. Sekali lagi, belum-belum saya sudah ‘ditampar’.

Pada bab Hitam, kita akan dibawa pada cerita abad dimana Lalita merasa pernah hidup di dalamnya. Anshel Eibenschutz yang tidak lain adalah kakek Lalita, menjadi tokoh sentral dalam bab ini. Dijlentrehkannya semua riset tahun 1900an dengan utuh oleh Ayu Utami, tidak lain untuk menjelaskan nama-nama dalam sejarah sekian abad lalu menjadi hidup. Hingga mungkin bagi pembaca awam seperti saya, harus mengulang dua tiga kali untuk mengerti alur dan kaitan satu sama lain. Sebut saja psikoalanisis Sigmund Freud yang hadir menjadi guru yang mengusir Anshel dari ruang diskusinya, mitos vampir dari cerita Vlad Sang Penyula, kemiripan Copernicus dan Galileo yang melihat alam semesta dalam model konsentris/heliosentris, semuanya dipertemukan dan dihidupkan dengan presisi.

Cerita menjadi utuh dan akan dibawa ke abad 20 ketika Anshel memulai pencarian diagram-diagram konstentris atau mandala yang dianggapnya sebagai struktur dasar yang ada dalam alam semesta. 156 halaman hingga bab Hitam ini saya habiskan dengan tercenung dan sengaja tidak menamatkannya saat itu juga. Saya memulai 'momen autis', sudah menghabiskan berapa banyak buku kah si pengarang ini dalam merangkai kata dan memadatkan ikon-ikon sejarah sehingga menjadi lebih mudah ‘terbaca’?.

Anshel kemudian melanjutkan cerita si Pengarang buku ini ke Tibet, disana lah ia lebih mendalami apa yang ia cari. Mandala masih menjadi tradisi bagi warga Tibet. Ajaran-ajaran Buddhisme memikatnya, ia mencukur habis rambutnya seketika ia tahu bahwa Buddhismelah yang ia cari, bukan teori-teori Freud yang dulu sering ia sangkal. Dua orang teman Tibetnya menyarankan Anshel untuk berhijrah ke Sumatra dan Jawa Tengah dimana mungkin saja jawaban akan axis mundi, pusat dunia, atau konsentris bisa ditemukan.

Pada bab Merah, buku ini mengajak kita kembali ke era kekinian dengan komposisi trio Sandi Yuda-Parang Jati-Marja ditambah lagi Lalita. Hilangnya buku catatan indigo yang berumur ratusan tahun di rumah Lalita serta ditemukan secara tragis wanita indigo ini setelah diperkosa di rumahnya, menjadi warna penutup yang klimaks. Namun sesekali kita diajak untuk menengok abad ke-20 dimana Borobudur membuktikan dirinya memiliki apa yang seluruh dunia cari yaitu axis mundi, konsentris atau poros dunia. Relief Karmawibangga atau lantai dasar Borobudur dahulunya ada, sebelum akhirnya ditutup kembali pada tahun 1890-1891. Lagi-lagi saya ‘ditampar’ kanan-kiri depan-belakang. Apa yang saya tahu tentang Borobudur?, tempat wisata?, candi yang masuk ke tujuh keajaiban dunia? versi siapa?, arca-arca yang seenaknya wisatawan main ambil foto dengan mendudukinya?. Tidakkah di antara kita ada yang ‘merasakan’ bahwa Borobudur bisa saja sebagai ‘love letter’ dari para pendahulu kita?.

Kepingan-kepingan berlabel tanda tanya di atas belum cukup untuk menandai betapa buku ini sangat bernyawa (setidaknya bagi saya). Sehari sebelum saya membaca Lalita, saya mengerjakan tugas pekerjaan translasi saya dengan tema museum. Di dalamnya saya menyelami Museum Nasional, arca Adityawarman, Parvati-Siva, candi Mendut, sejarah Nusantara dan segala sensasi museum yang lembab, dingin, memberi kesan misterius dan mendalam. Malamnya saya membaca Lalita. Ini kebetulan macam apa!. Saya berteriak dalam hati, mendapati pola aneh. Apa yang saya kerjakan sebelumnya mampu mengantarkan saya pada seri lain yang hampir sama. Sesuatu yang tidak berhubungan sebab akibat tetapi berhubungan makna.

Belum selesai di sana, sewaktu saya menjeda sebentar Lalita hingga bab Hitam, saya meminjam film DVD dari tetangga kamar. Bukan bosan, tapi saya mau membaca lagi Lalita di lain waktu yang lebih menjamin poros pikiran saya bersinergi. Saya masih terbata-bata akan pola ‘kebetulan’. Tahu apa film yang disodorkan tetangga kamar kepada saya? The Dark Shadows!. Saya tahu itu tentang vampir dilihat dari Johnny Depp sebagai Barnabas Collins yang duduk di singgasana di sampul film, tapi saya tidak sesadar itu dimainkan dalam ‘kebetulan’. Beberapa dialog dalam film mencatat kembali apa yang sedang saya baca sebelumnya. Setiap kita punya sisi gelap, setiap kita punya bayang-bayang. Merinding? Tentu saja.

Pikiran saya lalu berlari kejar-kejaran dengan kebetulan-kebetulan yang terjadi sepanjang hidup. Semakin kencang larinya, semakin pusing saya dibuatnya. Seakan semua yang saya lakukan bermuara pada diri saya. Lambang aurobros, ular yang menelan ekornya sendiri, sebuah simbol dari zaman pagan Mesir Kuno menjadi selingan di bagian akhir Lalita. Saya ragu-ragu membenarkan jika kebetulan-kebetulan yang terjadi adalah dari dalam diri. Seperti Anshel yang merasakan desir lebih kuat ketika pada momentumnya ia memutuskan perjalanan ke Jawa. Ia, diberi ucapan selamat oleh kawannya, Tuan Bell dengan memainkan piano dari komponis Claude Debussy berjudul Pagodes!. Belum selesai disana, Tuan Bell membuat pengaruh musiknya dengan bunyi-bunyian gamelan jawa!. Claude Debussy, pagoda, dan gamelan Jawa adalah jembatan kebetulan (yang pernah disaksikan) Anshel di masa kecilnya hingga tiba saatnya ia harus melihat Jawa. Mungkin saya atau di antara kalian yang pernah berkebetulan senada dengan Anshel akan juga mengalami momen 'tiba saatnya'.

Saat kalian sesekali bertanya, pernahkah menganggap jika alam semesta, indera, warna yang tertangkap kornea, bisikan yang terabai dengan sengaja, akal budi, partikel, semuanya menyeutuh dengan memberi kesempatan kepada kebetulan-kebetulan itu ada?. Sebagian hanya mampir sebentar, sebagian menyapa agak lama, terkadang sempat memberi makna atau (justru kita menganggapnya) hal yang biasa?. 

No comments:

Follow