Manusia itu kadang aneh. Di saat energi bumi melimpah, dihamburkan seperti hari esok masih ngantri nungguin mereka. Mudah saja, berpikir medioker-praktis kalau nanti anak cucunya masih tetap kebagian (kebagian apesnya? iya).
Mereka itu petentang-petenteng terlampaui bak raja, membuang-buang air untuk kegiatan remeh temeh, lalu menyalahkan siapa saja karena ketersediaannya yang lambat laun tak mencukupi kebutuhan. Mereka pikir air juga area kekuasaannya?. Apa tak pernah terlintas jika suatu saat nanti air enggan mengalir ke pipa-pipa rumahnya, dan anak cucunya kelak yang mendatangi sumber air dengan membawa segala jenis kesulitan di masanya.
Manusia itu tak sedikit yang aneh, ternyata banyak yang mencari colokan listrik di pusat-pusat perbelanjaan -yang tak dapat disentuh pemadaman lokal pemerintah. Tapi lihatlah manusia jenis yang satunya lagi, justru sibuk mencari kedamaian di sudut-sudut desa yang tak tercapai kabel istrik. Di pulau-pulau baru, hanya bermandikan panorama bulan. Syahdunya?
Manusia kota itu tak luput dari kebingungan rupanya. Banyak yang berbondong-bondong ke pusat kota untuk merayakan tahun baru yang gempita dan gemerlap. Namun yang lain berjuang mengasingkan diri di pedalaman bersama kesunyian. Bercengkrama dengan malam, menuju pergantian. Entah pergantian apa. Tahun depan juga pasti sama?
Manusia urban ini tak ubahnya perkongsian kekagetan dari adaptasi sosial dan tempat. Dulu yang didamba adalah "segalanya-yang-ada", sekarang justru merindukan betapa "yang-belum-ada" itu lebih menggiurkan dan menarik hati untuk dialami dan dirasa.
Manusia ibukota itu sebegitu naifnya. Mendamba lagi apa yang sebelumnya tak disuka, dan membuang apa-apa yang dulu dipuja. Bagai sepah.
O Merde! Ibukota sedang dilanda kecemasan. Entah cemas yang sebenarnya atau hanya cemas semata-mata tak bisa lagi bersilang kabar lewat perkawatan dunia maya?. Tak bisa lagi memasang status di jejaring sosial? Menyebarkan segala kondisi ibukotanya untuk lalu didengar dan dibaca oleh desa?.
O ibukota! Jangan salah, desa tak lagi memandangmu tinggi semenjulang sutet atau tower-tower provider yang dipacak-tanamkan di lahan-lahan sawah mereka.
Terus sajalah begitu. Lupakanlah Ende, Lupakanlah Bone. Bahkan ketika kita tahu jika mati total listrik ibukota dalam 5 jam saja, sudah bisa menyuplai listrik ke desa-desa kekurangan sebulan!. Bahkan jika kita ingat, lupakan sajalah, anggap saja tidak penting, besok listrik masih ada lagi, tinggal klik. Besok air masih ada lagi, tinggal putar kran ke kiri.
O Merde! Homo Sapiens, Manusia..
PS: Ditulis ketika mati lampu dan tak ada air, tragedi banjir Ibukota 17 Januari 2013, diposting hari ini.
~Kimmi
3 comments:
aiih, like diz. aku share di G+ yak
my pleasure... :)
salam kenal Tante...
kalo gak ada listrik susah ya
Dija jadi gak bisa nonton film putri salju
Post a Comment